PENDAHULUAN
Aktivitas keilmuan khususnya disiplin ilmu
nahwu di Mesir telah muncul dan berkembang sejak masa-masa awal muncul dan
berkembangnya nahwu secara umum. Diantara sekian banyak faktor yang mendorong
nahwu tetap ada dan eksis dipelajari di mesir, karena keinginan untuk tetap
menjaga kemurnian al_Qur’an dan bacaannya. Terutama dari segi gramatikanya.
Pada masa
awal,
terdapat seorang pengikut
Abul Aswad yang mengajar disana, yaitu Abdurrahman bin Hurmuz (w. 117 H).
Beliau inilah yang memberikan tanda titik pada mushaf Al-Quran sebagai tanda
I’rab. Beliau juga guru salah seorang dari qurra’ bacaan Al-Quran yang tujuh,
yaitu Imam Nafi’ bin Abi Nu’aim di Madinah. Bacaan cara Nafi’ ini kemudian
berkembang di Mesir berkat muridnya, yaitu Warasy, seorang penduduk asli Mesir
yang bernama lengkap ‘Utsman bin Sa’id.
Nahwu aliran
Mesir secara khusus mulai menampakkan
eksistensinya dengan hadirnya Wallad bin Muhammad At-Tamimi, yang
berasal dari Basrah tetapi tumbuh di Fusthath Mesir. Beliau berguru kepada
Al-Khalil bin Ahmad di Iraq dan menulis buku hasil pembelajarannya bersama sang
guru. Salah satu tokoh yang
sezaman dengan Wallad ini adalah Abul Hasan Al-A’azz yang belajar nahwu
kepada Al-Kisa’i. Dari adanya dua tokoh inilah mulai muncul aliran baru paduan
antara kedua aliran yang telah ada, yaitu Kufah dan Basrah. Dua tokoh inilah
generasi pertama Nahwu Mesir.
Generasi
kedua Nahwu Mesir ditandai dengan munculnya Ad-Dinauri (w. 289 H). Beliau
adalah Ahmad bin Ja’far, yang melakukan perjalanan ke Basrah untuk menuntut
ilmu. Beliau belajar Al-Kitab milik Sibawaih dari Al-Mazini, kemudian
ke Baghdad belajar kepada Tsa’lab, lalu pindah belajar kepada
Al-Mubarrad. Setelah itu, beliau kembali ke Mesir dan mengajar Nahwu di
sana dan menulis sebuah buku berjudul Al-Muhadzdzab yang beliau
peruntukkan bagi para muridnya di sana.
Lalu generasi berikutnya adalah Ali
bin Husain Al-Hunna’i (w. 320 H), dan Abul ‘Abbas Ahmad bin Muhammad bin Wallad
At-Tamimi (w. 332 H). Ali bin Husain adalah penulis Al-Mundhad. Beliau
adalah salah seorang tokoh yang memadukan
dua pandangan aliran nahwu yaitu
aliran Basrah dan Kufah. Beliau dijuluki sebagai Kura’un Namli yang berarti kaki semut karena fisiknya yang
pendek. Dan masih banyak tokoh-tokoh
nahwu lain di bumi para nabi ini yang tidak mungkin penulis cantumkan dalam
makalah ini. Kerena begitu menjamurnya ulama-ulama nahwu yang bermunculan pada
masa ini.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Profil Ibnu al_Hajib
Nama lengkap beliau adalah Jamaluddin
Utsman bin Umar bin Abi Bakr. Beliau di Esna wilayah Mesir bagian hulu pada
tahun 570 H. Dan kemudian beliau tumbuh dikairo. Ayah beliau adalah seorang
pelayan Raja Izzuddin as _Sholahi pada masa itu.
Dari segi akedemisnya Ibnu al_Hajib
menekuni dan mendalami beberapa bidang keilmuan.
Dan yang paling menonjol adalah Ilmu Fikih yang bermazhab Maliky, Ilmu Ushul,
dan Ilmu Nahwu. Setelah banyak menimba ilmu di negeri sendiri maka beliau pergi
ke Damaskus untuk menimba ilmu sekaligus mengajar di sana.
Banyak murid-murid beliau yang mempelajari
berbagai macam ilmu dari beliau. Setelah beberapa tahun Ibnu al_Hajib pun
kembali ke Kairo dan mengajar Ilmu Nahwu di Madrasah al_Fadhiliyyah Kairo.
Setelah puas di Kairo dia pun pindah dan menetap di Alexandria. Dan disinilah
beliau dipanggil oleh sang Khaliq pada tahun 646 H.
Ibnu al_Hajib telah banyak mengarang tentang Ilmu Fikih Maliky, Ilmu Ushul,
dan Ilmu ‘Arudh dan karangannya populer adalah Kitab al_Kafiyah dan Kitab
as_Syafiyah, yang masing-masingnya membahas tentang gramatika bahasa arab dan
morfologinya.
B.
Pemikiran-pemikiran Ibnu al_Hajib
Ibnu al_Hajib memiliki banyak pemikiran
yang sebagian di terima dan disepakati oleh Ulama-ulama Nahwu dan sering pula
bertentangan dengan pendapat-pendapat ulama Nahwu lainnya.
Diantara sekian banyak pendapatnya, beliau
menyatakan bahwa I’rab itu adalah lafzy bukan maknawiy. Kemudian beliau
beranggapan bahwa isim (sebelum penyusunannya dalam sighah dan ibarat) adalah
mabniy. Lalu tentang dua isim isyarah ذان dan تان keduanya adalah
isim isyarah yang ditempatkan atau diposisikan untuk mutsanna. Akan tetapi,
keduanya bukanlah bentuk mutsanna yang sebenarnya, mengapa? Karena ذان tersebut
merupakan sighah (bentuk) dalam posisi rafa’, dan dapat berubah menjadi ذين yang merupakan
bentuknya yang lain yang berposisi nashab dan jar begitu pual dengan تان .
Sebagian besar
ulama Nahwu berpendapat bahwa kalimat seperti غلامي adalah mabniy
karena diidhofahkan kepada dhomir mabniy, tapi Ibnu al_Hajib berpendapat lain
menurut beliau bahwa kalimat غلامي berkedudukan sebagai mu’rab muqaddar dengan acuan
beliau kepada kalimat مكغلامه وغلا.
Kemudian pendapat
beliau tentang lam ibtida’. Beliau sependapat dengan Imam Zamkhosyari bahwa lam
yang terdapat pada mubtada’itu menjadi satu menjadi lam ibtida’ contoh لزيد قائم dan لقائم زيد , adapun selain dari posisi tersebut beliau
berpendapat bahwa lamnya adalah lam muaakkdah contoh إن محمدا لقائم .
Ibnu al_Hajib juga
sependapat dengan beberapa pendapat ulama nahwu Kuffah yang mana siafat nahwu
Kuffah adalah lebih fleksibel, luntur dan mengadopsi bahasa-bahasa kelompok
atau individu-individu tertentu sebagai acuan toeri mereka. Dan ini lebih
bersifat deskriptif dalam teori-teori atau pun pembahasannya.
Sebagian pendapat
Ibnu al_Hajib yang mengamini mazhab Kuffah adalah jika lafadz لو kemudian
diikuti oleh lafadz ن
المأكدةأ maka i’rabnya dan yang setelahnya adalah fail
ditakdirkan dengan ثبت
.
Selain itu, pendapat beliau lainnya adalah bahwa lafadz إلا tidaklah
bersifat seperti غير kecuali jika didahului oleh جمع منكر غير محصور contohnya adalah :
لو كان فيهما ألهة لفسدتا berlawanan dengan contoh lainnya yaitu له علي عشرة إلا
درهما yang mana posisi إلا disini adalah sebagai huruf istisna’ saja.
BAB III
PENUTUP
Pertumbuhan dan
perkembanagan Nahwu mesir adalah fakta sejarah yang memiliki kontribusi nyata
dalam perkembangan studi Islam terutama dalam gramtika bahasa arab serta
morfologinya. Tentunya ini tidak terlepas dari peranan serta kontribusi dari
tokoh-tokoh yang konsisten dalam mendalami dan mengembangkan nahwu sebagai
pengetahuan yang telah merambah ke ranah epistemologi keilmuan. Ibnu al_Hajib
adalah satu dari sekian banyak tokoh yang ikut andil dalam memainkan peranan
itu. Pemikiran-pemikirannya merupakan kontribusi bersar yang dimiliki oleh
Mazhab Nahwu Mesir. Banyak pendapat beliau yang jika diteliti secara keseluruhan dan eksplisit makalah
tidaklah cukup untuk membahasnya.
Akhirnya, segala
hal yang penulis paparkan dalam makalah yang sederhana dapat memberikan manfaat
dan kontribusi dalam studi tokoh bahasa arab. Apabila ada kesalahan dan
kekurangan dalam pemaparan ataupun penulisan makalah ini. Penulis sangat
mengharpkan kritik dan saran yang membangun.
DAFTAR
PUSTAKA
Dhayf, Syauqi. Al_Madaris an_Nahwiyyah.
1976. Darul Ma’arif. Kairo. Mesir
Afandi,
zamzam. Jurnal Adabiyyat. Ibnu Jinni :Menembus sekat mazhab Liguistik.
(memadukan aspek logis dan sosiologis). Vol. 8. NO. 1, Juni 2009
Zamzamafandi
blogspot.com. diakses pada tanggal 9 Januari 2010
irfanantono.wordpress.com.
diakses pada tanggal 9 Januari 2010
Belum ada tanggapan untuk "Pemikiran Nahwu Mesir Ibnu al_Hajib"
Posting Komentar