-
Islam
merupakan agama yang menghendaki kebersihan lahiriah sekaligus
batiniah. Hal ini tampak misalnya melalui keterkaitan erat antara
niat (aspek esoterik) dengan beragam praktek peribadatan seperti
wudhu, shalat dan ritual lainnya (aspek eksoterik). Tasawuf merupakan
salah satu bidang kajian studi Islam yang memusatkan perhatiannya
pada upaya pembersihan aspek batiniah manusia yang dapat menghidupkan
kegairahan akhlak yang mulia. Jadi sebagai ilmu sejak awal tasawuf
memang tidak bisa dilepaskan dari tazkiyah al-nafs (penjernihan
jiwa). Upaya inilah yang kemudian diteorisasikan dalam
tahapan-tahapan pengendalian diri dan disiplin-disiplin tertentu dari
satu tahap ke tahap berikutnya sehingga sampai pada suatu tingkatan
(maqam) spiritualitas yang diistilahkan oleh kalangan sufi sebagai
syuhud (persaksian), wajd (perjumpaan), atau fana’ (peniadaan
diri). Dengan hati yang jernih, menurut perspektif sufistik seseorang
dipercaya akan dapat mengikhlaskan amal peribadatannya dan memelihara
perilaku hidupnya karena mampu merasakan kedekatan dengan Allah yang
senantiasa mengawasi setiap langkah perbuatannya. Tasawuf secara
sederhana dapat diartikan sebagai usaha untuk menyucikan jiwa sesuci
mungkin dalam usaha mendekatkan diri kepada Tuhan sehingga
kehadiran-Nya senantiasa dirasakan secara sadar dalam kehidupan.
tasawuf
para sahabat bukanlah pola ketasawufan yang menghendaki kasyf
al-hijab (penyingkapan tabir antara Tuhan dengan makhluk) atau
hal-hal sejenisnya yang diburu oleh para sufi di masa belakangan.
Corak sufisme yang mereka tunjukkan adalah ittiba’ dan iqtida’
(kesetiaan meneladani) perilaku hidup Nabi. Islam sekalipun
mengajarkan tentang ketakwaan, qana’ah, keutamaan akhlak dan juga
keadilan, tetapi sama sekali tidak pernah mengajarkan hidup
kerahiban, pertapaan atau uzlah sebagaimana akrab dalam tradisi
mistisisme agama-agama lainnya.
Tasawuf pada mulanya adalah bagian dari ajaran zuhd dalam islam. Yaitu lebih berkonsentrasi dalam pendekatan diri kepada Allah SWT dengan ketaatan dan ibadah. Semakin jauh dari zaman Rasul SAW semakin banyak aliran-aliran tasawuf berkembang. Dari perbedaan tatacara yang digunakan oleh masing-masing aliran itu tasawuf menjadi istilah yang terpisah dari ajaran zuhud. Karena tasawuf telah menjadi aliran yang memiliki makna khusus sebab kekhususan praktek ajaran yang ditempuhnya.
Ada tiga unsur dalam diri manusia yaitu: ruh, akal, dan jasad. Kemulian manusia dibanding dengan makhluk lainnya adalah karena manusia memiliki unsur ruh ilahi. Ruh yang dinisbahkan kepada Allah. SWT. Ruh Ilahi inilah yang menjadikan manusia memiliki sisi kehidupan rohani yang dapat diistilahkan dengan makna tasawuf. Dimana kecondongan ini juga dimiliki oleh semua manusia dalam setiap agama. Karena perasaan itu merupakan fitrah manusia. Secara umum dapat juga kita ibaratkan makna tasawuf dengan filsafat kehidupan dan metode khusus sebagai jalan manusia untuk mencapai akhlak sempurna, menyingkap hakikat dan kebahagiaan jiwa.
Adapun
inti dari tasawuf sendiri ialah tekun beribadah, menjauhi kemewahan
dunia dan mengasingkan diri dari manusia untuk beribadah sebagaimana
para sahabat dan ulama terdahulu melakukannya. Nabi SAW sendiri
secara sufistic telah memiliki prilaku sufi sejak dalam kehidupannya,
seperti dalam perilaku atau pribadi beliau, peristiwa dalam hidup,
ibadah. Sebelum menjadi Rasul, beliau sering berkholwat di gua hira
dengan berdzikir, bertafakur untuk mendekatkan diri kepada Alloh SWT.
II. ASAL-USUL KATA TASAWUF
Al-Qusyairi di dalam Al- Risalah al-Qusyairiyyah, mengatakan bahwa para generasi pertama ( sahabat ) dan sesudahnya (tabi’in ) mereka lebih menyukai dan merasakannya sebagai penghormatan apabila mereka disebut sebagai sahabat. Pada saat itu istilah-istilah seperti ‘abid, zahid dan sufi belumlah dikenal dan belum populer bila dibandingkan dengan masa setelahnya. Dengan demikian, istilah-istilah seperti ‘abid, zahid dan kemudian sufi, yang digunakan untuk para ahli ibadah, baru dikenal setelah generasi sahabat dan tabi’in ini. Tentang asal kata Tasawwuf, yang berasal dari kata sufi, terdapat beberapa pendapat yang berbeda. Diantaranya ada yang menganggap bahwa secara lahiriah sebutan tersebut hanya semacam gelar, sebab dalam bahasa Arab tidak terdapat akar katanya. “Menurut sejarah,orang yang pertama memakai kata sufi adalah seorang zahid atau asketik bernama Abu Hasyim Al-kufi di Irak. Terdapat lima teori mengenai asal kata sufi , teori-teori berikut selalu dikemukakan oleh para penulis tasawuf, yaitu :
1) Kata Tasawwuf adalah bahasa Arab dari kata suf yang artinya bulu domba. Orang sufi biasanya memakai pakaian dari bulu domba yang kasar sebagai lambang kesederhanaan dan kesucian. Dalam sejarah disebutkan, bahwa orang yang pertama kali menggunakan kata sufi adalah seorang zahid yang bernama Abu Hasyim Al-Kufi di Irak (wafat tahun 150H).
2) Ahl Al-Suffah, (أهل الصفة) yaitu orang-orang yang ikut hijrah dengan Nabi dari Mekkah ke Medinah yang karena kehilangan harta, mereka berada dalam keadaan miskin dan tak memiliki apa-apa. Mereka tinggal di serambi Mesjid Nabi dan tidur di atas batu dengan memakai pelana sebagai bantal. Pelana disebut suffah. Walaupun hidup miskin, Ahl Suffah berhati baik dan mulia. Gaya hidup mereka tidak mementingkan keduniaan yang bersifat materi, tetapi mementingkan keakhiratan yang bersifat rohani. Mereka miskin harta, tetapi kaya budi yang mulia. Itulah sifat-sifat kaum sufi.
3) Shafi ( صافي) yaitu suci. Orang-orang sufi adalah orang-orang yang mensucikan dirinya dari hal-hal yang bersifat keduniawian dan mereka lakukan melalui latihan yang berat dan lama. Dengan demikian mereka adalah orang-orang yang disucikan.
4) Sophia, berasal dari bahasa Yunani, yang artinya hikmah atau filsafat. Jalan yang ditempuh oleh orang-orang sufi memiliki kesamaan dengan cara yang ditempuh oleh para filosof. Mereka sama-sama mencari kebenaran yang berawal dari keraguan dan ketidakpuasan.
5) Saf ( صف) Sebagaimana halnya orang yang shalat pada saf pertama mendapat kemuliaan dan pahala yang utama, demikian pula orang-orang sufi dimuliakan Allah dan mendapat pahala, karena dalam shalat jamaah mereka mengambil saf yang pertama.
III. PENGERTIAN TASAWUF
Tasawuf merupakan salah satu bidang kajian studi Islam yang memusatkan perhatiannya pada upaya pembersihan aspek batiniah manusia yang dapat menghidupkan kegairahan akhlak yang mulia. Jadi sebagai ilmu sejak awal tasawuf memang tidak bisa dilepaskan dari penjernihan jiwa. Upaya inilah yang kemudian diteorisasikan dalam tahapan-tahapan pengendalian diri dan disiplin-disiplin tertentu dari satu tahap ke tahap berikutnya sehingga sampai pada suatu tingkatan (maqam) spiritualitas yang diistilahkan oleh kalangan sufi sebagai syuhud (persaksian), wajd (perjumpaan), atau fana’ (peniadaan diri). Dengan hati yang jernih, menurut perspektif sufistik seseorang dipercaya akan dapat mengikhlaskan amal peribadatannya dan memelihara perilaku hidupnya karena mampu merasakan kedekatan dengan Allah yang senantiasa mengawasi setiap langkah perbuatannya. Jadi pada intinya, pengertian tasawuf merujuk pada dua hal: (1) penyucian jiwa (tazkiyatun-nafs) dan (2) pendekatan diri (muraqabah) kepada Allah.
Tasawuf secara sederhana dapat diartikan sebagai usaha untuk mensucikan jiwa sesuci mungkin dalam usaha mendekatkan diri kepada Tuhan sehingga kehadiran-Nya senantiasa dirasakan secara sadar dalam kehidupan. Islam sekalipun mengajarkan tentang ketakwaan, qana’ah, keutamaan akhlak dan juga keadilan, tetapi sama sekali tidak pernah mengajarkan hidup kerahiban, pertapaan atau uzlah sebagaimana akrab dalam tradisi mistisisme agama-agama lainnya. Jadi, orientasi fundamental dalam perilaku sufistik generasi salaf adalah istiqamah menunaikan petunjuk agama dalam bingkai ittiba’, dan bukannya mencari karomah atau kelebihan-kelebihan supranatural.
IV. SUMBER AJARANNYA
Di dalam al-Qur’an banyak ditemui ayat-ayat yang mendorong manusia memikirkan alam raya ini, dengan berpikir akan nampak keindahannya dan keindahan pencipta dan dengan demikian akan tumbuh rasa cinta yang mendalam terhadap pencipta. Di antaranya dalam firman Allah:
إن في خلق السموات والأرض واختلاف الليل والنهار لأيات لأولى الألباب
Artinya, “sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal ”(S. Ali Imran 190).
Demikian juga sekian banyak ayat yang memberikan contoh akhlak mulia dan akhlak yang buruk, melalui cerita umat-umat yang lampau, atau melalui larangan dan perintah. Demikian pula manusia selalu didorong beramal saleh dan mengendalikan nafsu keinginannya dan dalam kemampuan mengendalikan nafsu keinginan terletak keberuntungan hidup. Allah berfirman:
ونفس وما سواها فألهمها فجورها وتقواها قد أفلح من ذكاها وقد خاب من دساها
Artinya “Dan jiwa serta penyempurnaannya (penciptaannya). Maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu (jalan) kefasikan dan ketakwaannya. Sesungguhnya beruntunglah orang yang mensucikan jiwa itu. Dan sesungguhnya merugilah orang yang mengotorinya” (S. Asy-Syams 7-10)
Contoh kehidupan shufi banyak pula ditemui dalam kehidupan Rasulullah
sehari-hari, yang penuh dengan penderitaan dan waktunya dihabiskan untuk
beribadah dan berbakti kepada manusia. Sebelum ia diangkat menjadi
Rasul, ia sering melakukan tahannus (khalwat) di gua Hira di Jabal Nur
untuk memohon petunjuk. Usman bin Affan meskipun termasuk orang yang
kaya yang mendapat kelapangan rezeki dari Allah, namun dalam
kehidupannya sehari-hari juga sangat sederhana. Di kala ia berada di
rumah, kitab suci al-Qur’an selalu di tangannya, pada malam hari ia
selalu menelaah isi al-Qur’an dan kadang kala sampai larut malam dan
ketika ia tewas dibunuh oleh para pemberontak al-Qur’an masih berada di
tangannya. Karena itu, orang shufi berpendapat ada hal-hal yang perlu
disembunyikan sebagai rahasia dalam ilmu tasawuf dan ajaran-ajaran yang
seperti itu tidak boleh dibeberkan kepada orang lain kecuali kepada
orang yang dianggap layak menerimanya. Mereka berlandaskan ucapan Abu
Hurairah yang diriwayatkan oleh Bukhari yang katanya: “Aku peroleh
dari Rasulullah dua bejana ilmu pengetahuan, satu di antaranya yang
kusampaikan kepada orang lain, dan yang satu lagi tidak kusampaikan dan
kalau kusampaikan juga niscaya leherku akan dipenggal”.
V. MUNCULNYA
TASAWUF
Timbulnya
tasawuf dalam islam tidak bisa dipisahkan dengan kelahiran islam itu
sendiri, yaitu semenjak Muhammad diutus menjadi Rasul untuk segenap
umat manusia dan alam semesta. Fakta sejarah menunjukan bahwa pribadi
Muhammad sebelum diangkat menjadi Rasul telah berulang kali melakukan
tahanuts
dan khalawat
di gua Hira’ disamping untuk mengasingkan diri dari masyarakat kota
Mekkah yang sedang mabuk memperturutkan hawa nafsu keduniaan. Di
sisi lain Muhammad juga berusaha mencari jalan untuk membersihkan
hati dan mensucikan noda- noda yang menghinggapi masyarakat pada
masa itu. Tahanuts dan khalawat yang dilakukan Muhammad SAW
bertujuan untuk mencari ketenagan jiwa dan keberhasilan hati dalam
menempuh liku- liku probelma kehidupan yang beraneka ragam , berusaha
untuk memperoleh petunjuk dan hidayah serta mencari hakikat kebenaran
, dalam situasi yang demikianlah Muhammad menerima Wahyu dari Allah
SWT, yang berisi ajaran- ajaran dan peraturan- peraturan sebagai
pedoman dalam mencapai kebahagiaan hidup didunia dan diakhirat.
Dalam
sejarah islam sebelum munculnya aliran tasawuf, terlebih dahulu
muncul aliran zuhud pada akhir abad ke I (permulaan abad ke II). Pada
abad I Hijriyah lahirlah Hasan Basri seorang zahid pertama yang
termashur dalam sejarah tasawuf. Beliau lahir di Mekkah tahun 642 M,
dan meninggal di Basrah tahun 728M. ajaran Hasan Basri yang pertama
adalah Khauf
dan Rajah’
mempertebal takut dan harap kepada Tuhan, setelah itu muncul guru-
guru yang lain, yang dinamakan qari’
,
mengadakan gerakan pembaharuan hidup kerohanian di kalangan umat
muslim. Sebenarnya bibit tasawuf sudah ada sejak itu, garis- garis
mengenai tariq
atau jalan beribadah sudah kelihatan disusun, dalam ajaran- ajaran
yang dikemukakan disana sini sudah mulai mengurangi makna (ju’),
menjauhkan diri dari keramaian dunia ( zuhud
).
Abu
al- Wafa menyimpulkan, bahwa zuhud islam pada abad I dan II Hijriyah
mempunyai karakter sebagai berikut:
Menjaukan
diri dari dunia menuju akhirat yang berakar pada nas agama , yang
dilator belakangi oleh sosipolitik, coraknya bersifat sederhana,
praktis( belum berwujud dalam sistematika dan teori tertentu ),
tujuanya untuk meningkatkan moral.
Masih
bersifat praktis, dan para pendirinya tidak menaruh perhatian untuk
menyusun prinsip- prinsip teoritis atas kezuhudannya itu. Sementara
sarana- saranapraktisnya adalah hidup dalam ketenangan dan
kesederhanaan secara penuh, sedikit makan maupun minum, banyak
beribadah dan mengingat Allah SWT. Dan berlebih- lebihan dalam
merasa berdosa, tunduk mutlak kepada kehendak Nya., dan berserah
diri kepada Nya. Dengan demikian tasawuf pada masa itu mengarah pada
tujuan moral.
Motif
zuhudnya ialah rasa takut yaitu rasa takut, yaitu rasa takut yang
muncul dari landasan amal keagamaan secara sungguh- sungguh.
Sementara pada akhir abad II Hijriyah, ditangan Rabi’ah al-
Adawiyah muncul motif rasa cinta, yang bebas dari rasa takut trhadap
adhab- Nya maupun harapan terhadap pahala Nya. Hal ini dicerminkan
lewat penyucian diri dan abstraksinya dalam hubungan antara manusia
dengan Tuhan.
Ahkir
abad II Hijriyah, sebagian zahid, khususnyadi Khurasan, dan Rabi’ah
al- Adawiyah ditandai kedalaman membuat analisa, yang bias dipandang
sebagai masa pendahuluan tasawuf, atau cikal bakal para pendiri
tasawuf falsafati abad ke- III dan IV Hijriyah. Abu al- Wafa lebih
sependapat kalau mereka dinamakan zahid, qari’, dan nasik (bukan
sufi) (Abu alo- Wafa, 1970). Sejalan dengan pemikiran ini, sebelum
Abu al- Wafa, al- Qusyairi tidak memasukkan Hasan al- Basri dan
Rabi’ah al-Adawiyyah dalam deretan guru tasawuf.
Sedangkan
zuhud menurut para ahli sejarah tasawuf adalah fase yang mendahului
tasawuf. Menurut Harun Nasution, station yang terpenting bagi seorang
calon sufi ialah zuhd yaitu keadaan meninggalkan dunia dan hidup
kematerian. Sebelum menjadi sufi, seorang calon harus terlebih dahulu
menjadi zahid. Sesudah menjadi zahid, barulah ia meningkat menjadi
sufi. Dengan demikian tiap sufi ialah zahid, tetapi sebaliknya tidak
setiap zahid merupakan sufi[1].
Secara
etimologis, zuhud berarti raghaba ‘ansyai’in wa tarakahu, artinya
tidak tertarik terhadap sesuatu dan meninggalkannya. Zahada fi
al-dunya, berarti mengosongkan diri dari kesenangan dunia untuk
ibadah[2].
Berbicara
tentang arti zuhud secara terminologis menurut Prof. Dr. Amin Syukur,
tidak bisa dilepaskan dari dua hal. Pertama, zuhud sebagai bagian
yang tak terpisahkan dari tasawuf. Kedua, zuhud sebagai moral
(akhlak) Islam dan gerakan protes[3]. Apabila tasawuf diartikan
adanya kesadaran dan komunikasi langsung antara manusia dengan Tuhan
sebagai perwujudan ihsan, maka zuhud merupakan suatu station (maqam)
menuju tercapainya “perjumpaan” atau ma’rifat kepada-Nya. Dalam
posisi ini menurut A. Mukti Ali, zuhud berarti menghindar dari
berkehendak terhadap hal – hal yang bersifat duniawi atau ma siwa
Allah. Berkaitan dengan ini al-Hakim Hasan menjelaskan bahwa zuhud
adalah “berpaling dari dunia dan menghadapkan diri untuk beribadah
melatih dan mendidik jiwa, dan memerangi kesenangannya dengan semedi
(khalwat), berkelana, puasa, mengurangi makan dan memperbanyak
dzikir”[4].
Jadi
zuhud merupakan hal yang tidak bisa terpisahkan dengan tasawuf
sebagai seorang zahid yang menjauhkan diri dari kelezatan duniaserta
mengingkarinya serta lebih mengutamakan kehidupan yang kekal dengan
mendekatkan diri untuk supaya tercapai keridhoan dan makrifat
perjumpaan dengan-Nya. Hal ini agar lebih mendekatkan diri sebagai
makhluk dengan Kholik sehingga dapat meraih keuntungan akhirat.
Kedua,
zuhud sebagai moral (akhlak) Islam, dan gerakan protes yaitu sikap
hidup yang seharusnya dilakukan oleh seorang muslim dalam menatap
dunia fana ini. Dunia dipandang sebagai sarana ibadah dan untuk
meraih keridlaan Allah swt., bukan tujuan tujuan hidup, dan di sadari
bahwa mencintai dunia akan membawa sifat – sifat mazmumah
(tercela). Keadaan seperti ini telah dicontohkan oleh Nabi dan para
sahabatnya[5].
Zuhud
disini mengandung makna tidak berbangga atas kemewahan dunia dan
tidak membuat ingkar terhadap Allah SWT serta tetap berusaha bekerja.
Hal ini hanyalah sebagai sarana ibadah meraih keridhoan-Nya, bukan
sebagai tujuan akhir hidup.
Sifat
zuhud inilah yang menjadi salah satu akibat suatu peristiwa dan
lanjutan munculnya tasawuf, yaitu sebagai reaksi kaum muslimin
terhadap sistem social politik dan ekonomi di kalangan islam sendiri.
Ketika islam mulai tersebar ke berbagai penjuru dunia, setelah tempo
sahabat (zaman tabiin abad ke I dan II) baik pada masa Kholifah
maupun masa daulah-daulah setelahnya banyak terjadi pertikaian
politik ataupun kemakmuran satu pihak, sudah mulai beubah kondisinya
dari masa sebelumnya. Sehingga menimbulkan pula peperangan saudara
antara Ali bin Abi Tholib dengan Mu’awiyah yang bermula fitnah pada
Utsman bin Affan. Dengan adanya peristiwa tersebut membuat masyarakat
dan ulama tidak ingin terlibat terhadap pergolakan yang ada serta
tidak mau kemewahan dunia. Mereka lebih memilih untuk mengasingkan
diri agar bisa mengembalikan kondisi lingkungan kehidupan islam
seperti dahulu, yaitu seperti masa Nabi SAW, para sahabat serta para
pengikutnya yang sesuai dengan berlandaskan Al-Qur’an dan Al-Hadist
pada jalan yang benar menuju Rabb Yang Maha Esa.
Pada
masa Bani Umayyah sistem pemerintahan berubah menjadi monarki
sehingga bebas berbuat kezaliman (terlebih kepada lawan politiknya
yaitu Syiah). Sampai terbunuhlah Husen bin Ali di Karbala dengan
kekejaman Bani Umayah, sehingga penduduk Kufah menyesal mendukung
pihak yang melawan Husein. Kemudian kelompok ini bernama Tawwabun
yang dipimpin Mukhtar bin Ubaid as-Saqafi untuk membersihkan diri
serta beribadah. Demikian pula dari segi social yang bermewah-mewahan
jauh dari seperti zaman Nabi SAW. Kholifah Yazid yang dikenal pemabuk
membuat kaum muslimin merasa berkewajiban menyeru hidup zuhud,
sederhana, saleh dan tidak terjebak hawa nafsu seta kembali melirik
pada kesederhanaan kehidupan Nabi SAW dan para sahabatbya. Saat
itulah kehidupan zuhud menyebar luas di maaasyarakat pada abad-abad
pertama dan kedua hijriyah dengan berbagai aliran, seperti :madinah,
Bashrah, Kuffah, Mesir
VI. KESIMPULAN
Zaman
Nabi SAW tidak ada tasawuf, akantetapi sikap perangainya serta dari
para sahabat telah menunjukkan sifat tasawuf.
Tasawuf
muncul sebagai akibat dari ketidakselarasan kondisi social politik
pada masa setelah sahabat yang jauh dari nilai-nilai seperti masa
lalu untuk kembali ke jalan islam yang lurus dengan mendekatkan diri
kepada-Nya.
Lahirnya
tasawuf didorong oleh beberapa faktor: (1) reaksi atas kecenderungan
hidup hedonis yang mengumbar syahwat, (2) perkembangan teologi yang
cenderung mengedepankan rasio dan kering dari aspek moral-spiritual,
(3) katalisator yang sejuk dari realitas umat yang secara politis
maupun teologis didominasi oleh nalar kekerasan, (4) perang politik
yang saling mengorbankan satu dengan yang lain. Karena itu sebagian
ulama memilih menarik diri dari pergulatan kepentingan yang
mengatasnamakan agama dengan praktek-praktek yang berlumuran darah.
Peri hidup Peri
hidup Rasulullah dan sahabat-sahabatnya tidak didasarkan pada
nilai-nilai material, nilai-nilai yang bersifat duniawi, misalnya
mencari kekayaan pribadi, melainkan bertumpu pada nilai-nilai
ibadah, mencari keridhaan Allah SWT. Akhlak mereka demikian tinggi,
tunduk, patuh kepada Allah, tawadhu’ (merendah diri) dan
sebagainya, bagaikan tanaman padi, kian berisi kian merunduk. Peri
hidup Nabi dan para sahabatnya yang terpuji (akhlaqul
karimah)
tersebut antara lain:
Hidup
zuhud
(tidak
mementingkan keduniaan).
Hidup
qanaah
(menerima apa adanya).
Hidup
taat (senantiasa menjalankan perintah Allah dan menjauhi
larangan-Nya).
Hidup
istiqamah (tetap beribadah).
Hidup
mahabbah
(sangat cinta kepada Allah dan Rasul-Nya, melebihi cinta kepada
dirinya dan makhluk lainnya).
Hidup
ubudiah
(mengabdikan diri kepada Allah).
DAFTAR
PUSTAKA
Hasan,
Abd-Hakim, al-Tasawuf
fi Syi’r al-Arabi,Mesir,al-Anjalu al-Misriyyah,1954.
Munawir,Ahmad
warson, al-Munawwir : Kamus
Arab – Indonesia,
PP. al-Munawwir,Yogyakarta, 1984.
Nasution,
Harun, Prof. Dr., Falsafat
dan Mistisme dalam Islam,
Jakarta, Bulan Bintang,1995.
Syukur,
Amin,Prof. Dr., Menggugat
Tasawuf,Yogyakarta,Pustaka
Pelajar, 2002.
Khoiri,
Alwan.Dr.M.A., Damami.Moh.Drs.M.A.g., dkk., Akhlak
Tasawuf,
Yogyakarta, Pokja Akademik UIN Sunan Kalijaga, 2005.
1 Tanggapan untuk "SEJARAH MUNCULNYA TASAWUF"
Mmms kueren
Posting Komentar