Feminisme selain gerakan kebudayaan, politik, sosial, dan ekonomi, juga merupakan salah satu teori sastra, yaitu sastra feminis. Teori sastra feminis melihat bagaimana nilai-nilai budaya yang dianut suatu masyarakat, suatu kebudayaan,yang menempatkan perempuan pada kedudukan tertentu serta melihat bagaimana nilai-nilai tersebut mempengaruhi hubungan antara perempuan dan laki-laki dalam tingkatan psikologis dan budaya. Dalam hubungannya dengan studi kultural, studi ini merupakan gerakan keilmuan dan praksis kebudayaan yang mencoba kritis dalam menangkap teori kebudayaan yang bias “kepentingan elit budaya dan kekuasaan”. Studi ini bertujuan menimbulkan kesadaran yang akan membebaskan manusia dari masyarakat irasional. Studi kultural juga mempersoalkan hubungan antara budaya dan kekuasaan yang mempertanyakan konsep-konsep konvensional menyangkut kebenaran, nilai, kesatuan, dan kestabilan. Oleh karena itu, karya sastra akan dilihat sebagai teks yang merupakan objek dan data yang selalu terbuka bagi pembacaan dan penafsiran yang beragam. Teks diterima dan dipahami oleh pembacanya dan lingkungan budaya dimana teks tersebut diproduksi dan dikonsumsi. Jadi, teks bersifat intertekstual dan sekaligus subjektif atau dengan kata lain, teks bersifat intersubjektif. Artinya teks tergantung pada bagaimana penafsiran-penafsiran yang diajukan orang lain dalam kode-kode dan konvensi-konvensi suatu komunitas, dan dengan demikian disahkan atau ditolak. Julia Kristeva danRoland Barthes menyatakan bahwa teks dibentuk oleh kode-kode dan konvensi-konvensi budaya serta mewujudkan ideologi tertentu.
Pengkajian budaya lebih mengamati aspek sosial politis dari kehadiran teks sastra. Dalam hal ini teks sastra dianggap bisa menyosialisasikan berbagai hal untuk membangun atau meruntuhkan suatu ideologi. Pendekatan budaya feminis, khususnya feminis Muslim, digunakan untuk mengamati bagaimana gagasan feminis El Sadawi dimunculkan menghadapi dominasi laki-laki, dan bagaimana citra perempuan sebagai korban atau citra perempuan yang berpotensi memperjuangkan kesetaraan ditampilkan dalam teks tersebut. pada tulisan ini penulis ingin melihat pemikiran feminisme dan ideologi patriarki dalam pada teks al-Wajhu al-A’ri lil Mara’h al-Arabiyyah karya Nawal El Saadawi.
Nawal El Saadawi yang terkenal sebagai feminis yang aktif menggugat kekuasaan lelaki, budaya patriarki, kolonial negara dan agama, dalam teks al-Wajhu al-A’ri lil Mara’h al-Arabiyyah tampaknya El Saadawi ingin mencoba untuk membebaskan kaum perempuaan dari berbagai bentuk pelecehan, diskriminasi, dan marjinalisasi yang disebabkan oleh sistem patriarkat yang berkelas-kelas didalam masyarakat manusia secara totalitas. Kebudayaan islam, atau kebudayaan arab bukanlah satu-satunya kebudayaan yang menjadikan perempuaan sebagai barang dagangan atau budak belian, karena agama masehi dan kebudayaan eropapun melakukan hal yang sama bahkan lebih kejam mereka melakukan diskriminasi ataupum segala bentuk penindasan terhadap kaum perempuaan.
Agama-agama di dunia memiliki peran dan prinsip-prinsip yang hampir sama, tentang keharusan kaum perempuan harus mengikuti kaum lelaki dimana konsep patriarki itu tumbuh. Banyak klaim dan dalil-dalil yang diduga berasal dari “tuhan” maskulin yang menetapkan nilai klasifikasi serta kekuasaan lelaki didalam rumah tangga maupun lingkungan sosial masyarakat. Kaum lelaki adalah lebih kuat/berkuasa dari pada kaum perempuaan bahkan perempuan diciptakan dari bagian tubuh kaum lelaki. Perempuaan bukanlah Makhluk lemah kualitasnya dibandingkan kaum lelaki sebagaimana diasumsikan banyak orang. Bahkan sejarah telah berbicara kepada kita bahwa perempuan telah memberikan sumbangsih intelektual pertama dalam peradaban dunia, perempuan lebih dahulu berpikir dengan akalnya dibandingkan kaum lelaki. Dialah kaum perempuan yang menjadi pelopor pembangun ilmu pengetahuan dan peradaban dunia dalam sejarah kemanusian. Tuhan pertama adalah Euzuis sedangkan sebelumnya adalah Hawa.
Agama islam dan agama masehi adalah fase kemajuaan bagi pengembangan dan perluasaan masyarakat manusia dalam berbagai sisi kehidupan. Sebaliknya keterlibatan bagi perempuaan semakin bertambah. Islam memberikan hak-hak yang baru dan membuang hak-hak lama secara bertahap-tahap , itu terbukti pada masa Rasululah dan sekarang semuanya di renggut oleh bangsa arab. Maka dari itu Nawal menganjurkan untuk bersikap selektif dalam melihat peninggalan dan warisan sejarah peradaban arab dan islam, dimana ada sisi positif yang harus dicari dan ditegakan, sedangkan sisi negatifnya kita tinggalkan dengan ikut berdasarkan pada akumulasi positif peninggalan sejarah dan sisi positif pemikiran masa kini. Hal ini menunjukan bahwa gambaran yang di berikan bangsa arab dahulu ataupun yang sekarang bukanlah perempuan arab yang sesungguhnya.
Menurut Nawal El Saadawi kaum perempuan tidak akan terbebaskan dari sistem patriarki kecuali dari diri mereka sendiri yang mulai merubahnya dan berusaha untuk mengangkat harkat dan martabatnya dengan mengusung gagasan perubahan dan modernisasi. Perempuaan haruslah kuat di mulai dari pribadinya masing-masing. menurut beliau perempuaan harus bisa terbebaskan dan berani menyikap tabir pikiran mereka, yaitu kesadaran palsu, kesan-kesan minor, dan sikap lemah yang selama ini melekat pada kaum perempuan. sehingga nantinya akan muncul sebuaah kesadaran baru pada diri mereka bahwa sesungguhnya tidak ada perbedaan berarti antara dirinya dan kaum lelaki. Setelah itu mereka akan menjadi suatu kekuatan politik yang memiliki otoritas dalam mengambil keputusan yang besar. Semua ini akan terwujud melalui organisasi keperempuanan yang sadar akan hak-hak dan tujuannya.
Untuk membuktikan gagasanya tersebut Nawal El Sadawi memberikan bukti sejarah sebagai antitesa dan solusi solutif. Sejarah telah menunjukan bahwa gerakan revolusi dan peperangan merebut kemerdekaan turut mempercepat proses pembebasan perempuaan di timur dan di barat, sebagaimana perang kemerdekaan Aljazair memberikan kontribusi penting terhadap hancurnya segala bentuk keterikatan perempuan di negara tersebut. Demikian pula gerakan pembebasan perempuan Palestina memberikan kontribusi besar terhadap pembebasan perempuan di Palestina sebagaimana halnya dengan seluruh gerakan kemerdekaan rakyat yang selalu erat hubungannya dengan pembebasan perempuaan.
Maka dari itu semua dalam perjalan hidupnya Nawal El Saadawi tidak pernah lelah untuk berjuang memerdekakan kaum perempuan dari segala bentuk penindasannya. Pada tahun 1981 El Saadawi membentuk AWSA (Solidaritas Perempuan Arab Association). Para AWSA (Arabic Women's Solidarity Association) adalah hukum pertama, organisasi feminis independen di Mesir. Organisasi memiliki 500 anggota lokal dan lebih dari 2.000 anggota secara internasional. Asosiasi ini menyelenggarakan konferensi internasional dan seminar, menerbitkan majalah dan telah mulai menghasilkan pendapatan proyek untuk perempuan di daerah pedesaan. Para AWSA dilarang pada tahun 1991 setelah mengkritik keterlibatan AS dalam Perang Teluk. El Saadawi merasa konflik irak dan libanon (perang teluk) seharusnya diselesaikan di antara orang Arab. tujuaan dari didirikannya organisasi ini adalah untuk mengupayakan kekuatan politik yang memperjuangkan kepentingan dan apresiasi kaum perempuaan. pada tahun 1985 organisasi AWSA telah mendapatkan pengakuaan resmi dari Dewan Ekonomi dan Sosial PBB sebagai organisasi non Pemerintahan (NGO) Arab.
Artikel keren lainnya:
Belum ada tanggapan untuk "Pemikiran Feminisme Nawal El-Saadawi Pada Teks al-Wajhu al-A’ri lil Mara’h al-Arabiyyah"
Posting Komentar