Salah satu cara untuk mengenal dengan baik sebuah ilmu ialah dengan meninjau sejarahnya, perkembangannya, metode-metode para pakarnya dalam merumuskan prinsip-prinsipnya, membentuk hukum-hukumnya, dan menggali kaidah-kaidahnya.
Ilmu nahwu berbeda dari ilmu-ilmu ke-Arab-an yang lain dari sisi bahwa ia mempunyai sejarah yang cukup unik, dan juga ia mulia atas dasar ketinggian tujuannya yaitu menjaga otentisitas lisan (bahasa) orang Arab secara umum dan Al-Qur’an secara khusus. Hal ini terutama ketika didapati banyak penyimpangan bahasa yang kemudian menggugah kesadaran setiap orang Arab yang takut kepada Allah bahwasanya mereka harus menjaga Al-Qur’an yang tentangnya Allah berfirman,”Sesungguhnya Kami telah menurunkan Peringatan (Al-Qur’an) dan sesungguhnya Kami pulalah yang akan menjaganya”.
Sungguh, ilmu nahwu telah mendapatkan perhatian yang luar biasa dalam perkembangannya, sampai-sampai dikatakan,”Ilmu nahwu telah dipelajari dengan giat sampai “terbakar”’. Yang demkian ini tentu saja menunjukkan adanya gerakan-gerakan ilmiah yang cemerlang sepanjang perkembangannya, terutama pada saat orang-orang Kufah memasuki dunia studi ilmu nahwu sebagai rival bagi orang-orang Bashrah yang selama beberapa saat telah terlebih dahulu memegang panji ilmu nahwu. Persaingan positif tersebut telah mengakibatkan berbagai perbaikan dan pengkajian yang mendalam, sehingga ilmu nahwu pun berkembang dengan cepat dan akhirnya mengalami formasi pada periode yang sangat dini,yang hal itu belum terjadi pada ilmu-ilmu yang lain.
Ilmu nahwu merupakan bagian dari ilmu bahasa secara umum. Secara keseluruhan, ilmu bahasa meliputi ilmu nahwu, ilmu sharf, ilmu pelafalan, dan ilmu semantik. Ilmu sharf berbicara tentang aturan pembentukan kata (البنية والصيغة). Ia mempelajari timbangan-timbangan kata (wazan) berikut indikasinya, serta bentuk-bentuk perubahan yang sangat beragam seperti penghapusan (الحذف), penambahan (الزيادة), perentangan (التطويل), pemendekan (التقصير), peleburan (الادغام), pembalikan (القلب), penggantian (الابدال), pencacatan (الاعلال), serta keadaan saat terus (الوصل) dan saat berhenti (الوقف). Dengan kata lain, kata kunci dalam ilmu sharf ialah kata (الكلمة). Adapun kata kunci dalam ilmu pelafalan ialah suara (الصوت). Sementara, ilmu semantik menitikberatkan kajiannya pada aspek makna dan penunjukan makna. Titik berat pada aspek makna berarti bahwa disana akan dipelajari tentang makna leksikon dari suatu kata (= المعني المعجمي المعني القاموسي), makna kontekstualnya (المعني السياقي), makna individual, makna sosial, dan sebagainya. Titik berat pada penunjukan makna berarti bahwa disana akan dipelajari tentang perkembangan makna suatu kata, yang dipengaruhi oleh banyak variabel seperti individu, sosial, kebudayaan, militer, politik, peradaban, dan lain-lain.
Adapun ilmu nahwu, kata kuncinya ialah kalimat (الجملة). Ia secara khusus berbicara tentang jabatan tiap elemen kalimat dan secara umum berbicara tentang aturan mengenai hubungan antar elemen tersebut. Demikianlah, ilmu nahwu telah digunakan untuk menganalisis secara sintaktik bagian-bagian sebuah kalimat serta hubungan antar bagian-bagian tersebut dalam apa yang dalam tradisi klasik kita sebut sebagai hubungan penyandaran (الاسناد). Jadi ilmu nahwu tidaklah hanya berbicar tentang harakat di akhir kata serta i’rabnya, namun ia juga mengatur tentang bagaimana cara yang baik dalam menyusun dan merangkai kalimat.
Semua cabang ilmu bahasa diatas saling melengkapi satu sama lain. Ilmu-ilmu tersebut dibeda-bedakan hanyalah untuk kemudahan mempelajarinya saja. Kita tidak bisa mengkaji bahasa secara sempurna dengan hanya menggunakan salah satu atau sebagian ilmu-ilmu tersebut dan meninggalkan ilmu yang lain.
A. BAHASA DAN TATA BAHASA
Andai saja kita mengenal bahasa dalam konsepsinya yang paling luas – sebagaimana yang dikemukakan oleh Ibn Jani – yakni “suara yang diucapkan oleh setiap kaum untuk menyatakan tujuannya” atau dalam definisi yang lain sebagaimana yang dikemukakan oleh Edward Sabr yakni “instrumen manusiawi yang dikhususkan untuk menyatakan pikiran, sikap, dan keinginan, melalui aturan-aturan yang sistematis, yang dilakukan dengan sadar. Apabila kita mengenal konsepsi seperti diatas, maka kita akan memahami bahasa sebagai sesuatu yang bersifat menyeluruh, atau bahwa bahasa merupakan aturan umum yang tersusun dari aturan-aturan parsial yang satu sama lain tidaklah saling bertentangan. Pada akhirnya kita akan menyadari bahwa kita tidak akan mungkin bisa terlepas dari bahasa apabila bahasa memang memerankan posisinya sebagaimana disebutkan diatas.
Aturan-aturan parsial yang dimaksud ialah:
1. Aturan sintaksis (al-nizham al-nahwiy)
2. Aturan perubahan bentuk kata (al-nizham al-sharfiy)
3. Aturan pelafalan (al-nizham al-shautiy)
4. Aturan semantik (al-nizham al-dalaliy)
Aturan sintaksis (nahwu) secara khusus berbicara tentang aturan dalam menyusun kalimat. Dari sini kita memahami bahwa titik tekan kajian nahwu ialah pada kalimat (al-jumlat), yang ditinjau makna umumnya dalam batas-batas tertentu. Maksudnya, ilmu nahwu secara khusus berbicara tentang jabatan tiap elemen kalimat dan secara umum berbicara tentang aturan mengenai hubungan antar elemen tersebut. Demikianlah, ilmu nahwu telah digunakan untuk menganalisis secara sintaktik bagian-bagian sebuah kalimat serta hubungan antar bagian-bagian tersebut dalam apa yang dalam tradisi klasik kita disebut sebagai hubungan penyandaran (isnad), atau dalam analisis yang dipakai oleh Imam Abdul Qohhar Al-Jurjaniy dimana beliau menjadikan ilmu nahwu sebagai landasan dalam mengungkap keajaiban Al-Qur’an (I’jaz Al-Qur’an). Beliau menulis dalam kitabnya Indikasi-indikasi Keajaiban (Dalaa-il al-I’jaz) :
“Ketahuilah bahwa apabila Anda melakukan refleksi terhadap diri Anda sendiri, maka Anda akan memahami sesuatu yang tidak bisa diragukan lagi, yakni bahwasanya dalam berbicara tidak ada aturan maupun tata urutan tertentu kecuali bahwa sebagian mesti tergantung pada yang lain dan sebagian mesti dibangun diatas yang lain. Demikian pula, suatu keadaan ini mesti disebabkan oleh sesuatu yang lain. Yang demikian ini merupakan sesuatu yang tidak akan dipungkiri oleh mereka yang berakal sehat, juga merupakan sesuatu yang tidak tersembunyi bagi satu orang manusia pun. Apabila kita mengamati yang demikian itu, kita akan mengetahui bahwa, tidak bisa tidak, apabila Anda menggunakan sebuah isim maka isim tersebut pasti menjadi fa’il atau maf’ul bagi fi’il-nya. Apabila Anda menggunakan dua buah isim maka salah satu akan menjadi khabar bagi yang lainnya. Apabila Anda meletakkan isim mengikuti isim yang lain maka isim yang kedua pasti merupakan shifat bagi yang pertama, penegasan (ta’kid) baginya, atau pengganti (badal) baginya. Apabila Anda meletakkan isim dibelakang sebuah kalimat sempurna maka isim tersebut akan menjadi shifat, hal atau tamyiz. Apabila Anda menginginkan bahwa dari dua fi’il, salah satu menjadi syarat bagi yang lainnya, maka Anda harus memakai huruf atau isim dengan makna yang sesuai. Demikian seterusnya, kita bisa menganalogikannya”.
Selanjutnya, beliau melanjutkan dengan menjelaskan pentingnya berpegang pada kaidah-kaidah dan hukum-hukum nahwu, serta menjaga keterkaitan antara bagian-bagian kalimat di satu sisi dan keterkaitan antara satu kalimat dengan kalimat lainnya di sisi yang lain. Demikianlah sampai kalimat-kalimat kita menjadi teratur dan tersusun secara sempurna, dalam rangka mengungkapkan makna tertentu. Dalam hal ini, beliau menulis :
“Ketahuilah bahwa tidaklah aturan itu dibuat kecuali agar Anda meletakkan kalimat-kalimat Anda pada tempatnya sebagaimana yang telah diatur oleh ilmu nahwu, dan agar Anda mentaati hukum-hukum dan prinsip-prinsipnya. Demikian pula, aturan tersebut dibuat agar Anda memahami manhaj-manhajnya. Maka, janganlah Anda melanggar dan mengabaikannya”.
Lebih jauh lagi, beliau menambahkan bahwa nahwu merupakan ukuran bagi benar-tidaknya ucapan dan kualitas keteraturannya. Sebaliknya, menyalahi hukum-hukumnya akan berakibat pada rusaknya ucapan dan rendahnya kualitas keteraturannya. Beliau menulis:
“Persoalannya ialah sebagai berikut. Anda tidak akan menemukan sesuatu yang kebenarannya – jika memang benar - merujuk pada aturan dan kekeliruannya – jika memang keliru - merujuk pada aturan, kecuali itu semua termasuk dalam makna ilmu nahwu. Maka Anda tidak akan melihat suatu kalimat bisa dinyatakan benar atau salah susunannya, dan dinyatakan sebagai kalimat yang bagus dan indah, kecuali Anda harus mempunyai rujukan tentang kebenaran dan kekeliruannya, atau tentang kebagusan dan keindahannya, yang semua itu terdapat dalam makna-makna dan hukum-hukum ilmu nahwu, serta prinsip-prinsip dan bahasan-bahasannya”.
Adapun ilmu atau aturan perubahan kata (sharf), ia banyak berkaitan dengan pembentukan kata (al-bunyat wa al- shighat). Ilmu ini mempelajari timbangan-timbangan (wazan) dan indikasinya, serta bentuk-bentuk perubahan yang sangat beragam seperti penghapusan (al-hadzf), penambahan (al-ziyadat), perentangan (al-tathwil), pemendekan (al-taqshir), peleburan (al-idgham), pembalikan (al-qalb), penggantian (al-ibdal), pencacatan (al-i’lal), serta keadaan saat terus (washl) dan saat berhenti (waqf). Dari sana kita bisa mengatakan bahwa titik tekan kajian sharf ialah al-shighat wa al-bunyat atau, dengan kata lain, kata (al-kalimat).
Adapun ilmu atau aturan pelafalan, ia secara khusus mempelajari pelafalan bahasa, dari sisi karakteristiknya, sifat-sifatnya, macam-macamnya, serta cara pelafalan dan perpindahannya dari mulut pembicara ke telinga orang yang mendengarkan. Dengan demikian titik tekan kajian pelafalan ialah suara (al-shaut).
Mengenai yang terakhir, yakni ilmu atau aturan penunjukan (indikasi) makna, sesungguhnya ia menitikberatkan pada aspek makna dan aspek penunjukan makna. Titik berat pada aspek makna berarti bahwa disana akan dipelajari tentang makna leksikon (al-ma’na al-mu’jami, al-ma’na al-qamusi) dari suatu kata, makna kontekstualnya (al-ma’na al-siyaqi) yang disebabkan oleh susunan disekitarnya, makna individual, makna sosial, dan sebagainya. Titik berat pada penunjukan makna berarti bahwa disana akan dipelajari tentang perkembangan makna suatu kata, yang dipengaruhi oleh banyak variabel seperti aspek individu, bahasa, sosial, kebudayaan, militer, politik, peradaban, dan lain-lain.
Cabang-cabang ilmu diatas secara bersama-sama membentuk bangunan ilmu bahasa secara keseluruhan. Kita tidak mungkin memisahkan sama sekali satu cabang dari yang lainnya karena bahasa, semuanya saja, bukan merupakan sesuatu yang bisa dipisah-pisah. Bahasa tidak akan bisa berfungsi sebagaimana mestinya apabila salah satu atau beberapa bagiannya ditiadakan. Ambillah gambaran tentang nomor telepon. Ia merupakan susunan tertentu dari beberapa angka, misalnya 751265. Setiap nomor dalam susunan tersebut memiliki posisi numeralnya sendiri-sendiri. 5 bukanlah 6. Keduanya pun bukanlah 2 atau 1. Demikian seterusnya. Ada yang berada pada posisi satuan, puluhan atau ratusan. Angka 5 pada posisi satuan berbeda dengan angka yang sama pada posisi puluhan ribu. Yang pertama berarti 5 sementara yang belakangan berarti 50000.
Demikianlah nomor telepon melakukan fungsinya dimana semua persyaratan yang telah diterangkan diatas harus terpenuhi tanpa kecuali. Apabila salah satu angka dihilangkan, atau salah satu angka diubah seperti 5 diubah menjadi 4, atau angka-angkanya ditukar tempatnya, maka fungsinya pun akan hilang.
Demikian pula dengan bahasa, tidak bisa tidak. Kita harus memahaminya dari segenap aturan-aturannya baik itu dari aspek nahwu, sharf, pelafalan, atau penunjukan maknanya. Satu pun dari aspek-aspek tersebut tidak mungkin bisa ditinggalkan. Kita membedakan atau memilah-milah aturan-aturan tersebut hanyalah sebatas untuk menjadikannya sebagai disiplin ilmu yang bisa dipelajari secara terpisah, karena masing-masing aturan tersebut memiliki manhaj, tema, tujuan, persoalan, dan kaidahnya sendiri-sendiri. Semua itu hanyalah dilakukan dalam rangka studi dan pengkajian, serta untuk tujuan-tujuan pengajaran dan pendidikan.
Dari sini jelas sudah kaitan antara nahwu dan bahasa yakni bahwa nahwu merupakan bagian dari bahasa. Demikian juga telah jelas pula kaitan antara nahwu dan sharf, pelafalan, serta penunjukan makna. Semuanya merupakan elemen-eleman dari satu kesatuan yakni bahasa.
Berdasarkan apa yang sudah dikemukakan diatas tentang karakteristik dan funsi ilmu nahwu,
kiranya sudah jelas bagi pembaca bahwa nahwu tidaklah sebagaimana yang didefinisikan oleh sebagian orang, yakni “mengetahui harakat dari akhir kata serta i’rabnya”. Nahwu, ternyata, lebih luas daripada sekedar masalah harakat akhir kata. Ia merupakan ilmu yang mengkhususkan diri berbicara tentang aturan menyusun dan merangkai ucapan. Kata-kata harus disusun berdasarkan pola-pola tertentu dan kaidah-kaidah yang sudah ada. Demikianlah kata-kata itu tersusun berdampingan satu sama lain, memiliki harakat yang berbeda-beda, dan memiliki posisi yang berbeda-beda, sesuai dengan aturan umum berbahasa. Nahwu merupakan ilmu mengatur kata-kata atau ilmu menyusun kata-kata, yang banyak mempelajari tentang pengaturan kalimat dalam berbagai macam dan bentuknya. Ia juga mempelajari tentang elemen-elemen kalimat baik dari sisi kedudukannya, fungsinya, kaitannya, i’rabnya, dan hal-hal lain yang termasuk dalam aturan-aturan nahwu.
B. PENYUSUNAN ILMU NAHWU
Diantara prestasi cemerlang yang senantiasa diabadikan oleh sejarah ialah penyusunan (peletakan) ilmu nahwu. Para ahli tata bahasa kontemporer – di Timur maupun di Barat – hanya bisa tercengang dengan penuh rasa takjub, karena ilmu nahwu ternyata sangat sempurna, memiliki kaidah yang teliti, dan hukum-hukumnya senantiasa konsisten. Ini, sungguh, merupakan sebuah penemuan ilmiah sekaligus prestasi pioner dalam bahasa, yang dicapai dibawah petunjuk Kitab Suci Rabb semesta alam dan sunnah Nabi saw. Disamping itu, semua ini juga karena lingkungan yang khas dengan ketercerahan, kejernihan pikiran, kejelasan pandangan, dan kejelasan akan kebenaran. Karakter pikiran yang demikian itu telah menghasilkan ingatan yang kuat, ketajaman rasa, kemampuan analisis dan sintesis, kemampuan metodologis dalam menggali hukum, dan kemampuan problem solving melalui kajian yang mendalam. Namun sebelum semua itu, akal Arab telah memiliki orientasi yang amat mulia, yang menjadi bagian dari aqidah dan iman, yakni untuk menjaga Al-Qur’an yang mulia serta memeliharanya dari berbagai kesalahan dan kekeliruan.
Sesungguhnya sebagian kalangan telah mengakui prestasi pioner ini. Adapun orang-orang yang menyimpan kedengkian, maka mereka berusaha untuk menyuarakan kebatilan dengan baju kebenaran, yakni dengan mengatakan bahwa asal muasal dan referensi tata bahasa Arab ialah tata bahasa lain. Mereka menyebarluaskan paham bahwa para ahli tata bahasa Arab telah dipengaruhi oleh para ahli tata bahasa lain.
Berangkat dari sini, kita hendaknya memahami bahwa bahasan tentang penyusunan ilmu nahwu merupakan bahasan penting yang harus dicermati oleh para generasi muda kita. Mereka harus melakukan pengkajian yang detail atas bahasan tersebut. Dengan demikian pemahaman mereka atas khazanah klasik akan bertambah. Disamping itu, mereka juga akan sanggup membela kemuliaan generasi terdahulu mereka, membentengi diri mereka dari gelombang peragu-raguan dan inferioritas, dan penghancuran khazanah klasik kita yang dilakukan oleh musuh-musuh Islam dan Arab.
Berbicara tentang penyusunan ilmu nahwu akan berhubungan dengan persoalan yang cukup banyak. Siapakah yang menyusunnya? Sebelum pertanyaan ini ialah pertanyaan “Apa sebab-sebab yang mendorong penyusunannya?” Bab apa yang pertama kali disusun dalam ilmu nahwu? Atau barangkali ilmu nahwu disusun secara sekaligus? Dimana dan kapan ia disusun? Lalu apa saja bahasan ilmu ini? Apa tujuan dan fungsinya? Dari mana ia dikembangkan? Demikian seterusnya, yang semua persoalan tersebut akan dibahas berikut ini.
C. SEBAB-SEBAB YANG MENDORONG DISUSUNNYA ILMU NAHWU
Orang-orang Arab pra-Islam merupakan model sebuah masyarakat yang khas dan unik. Mereka memiliki tradisi bahasa yang menjadi patron bagi aturan bahasa secara umum. Pada masa mereka tidak terjadi pergumulan dengan bangsa-bangsa lain yang sampai menimbulkan pengaruh yang signifikan pada bahasa mereka. Ini berkebalikan dengan apa yang terjadi pada zaman sesudah Islam, dengan beberapa alasan yang akan dibahas kemudian.
Bahasa di jazirah Arab pra-Islam bisa dibedakan atas dua tingkatan:
1. Pertama, tingkatan bahasa fasih, yang berupa bahasa patron yang disepakati, dan berkiblat pada dialek Quraisy yang digunakan dalam bidang keagamaan, politik, perdagangan, dan kebudayaan, sampai- sampai kabilah-kabilah Arab menjadikannya sebagai kiblat dalam berbagai bidang kehidupan.
2. Kedua, tingkatan dialek, yang terdiri dari dialek-dialek berbagai kabilah yang sangat banyak jumlahnya, yang mana cara dan tradisinya berbeda satu sama lain sampai pada batas-batas tertentu.
Orang-orang Arab saat itu mampu berbicara dalam kedua tingkatan tersebut, yang fasih maupun dialek. Mereka menggunakan bahasa dialek apabila sedang bercakap-cakap santai dengan keluarga. Apabila mereka pada saat yang lain dituntut untuk memakai bahasa yang fasih maka mereka pun akan melakukannya tanpa merasa kesulitan.
D. PERKEMBANGAN ILMU NAHWU DARI MASA KE MASA
Perkembangan ilmu nahwu dapat diruntut menjadi beberapa periode:
1. Periode Perintisan dan Penumbuhan (Periode Bashrah)
Perkembangan pada periode ini berpusat di Bashrah, dimulai sejak zaman Abul Aswad sampai munculnya Al-Khalil bin Ahmad, yakni sampai akhir abad kesatu Hijriyah. Periode ini masih bisa dibedakan atas dua sub periode, yaitu masa kepeloporan dan masa pengembangan. Masa kepeloporan tidak sampai memasuki masa Daulah Abbasiyah. Ciri-cirinya ialah belum munculnya metode qiyas (analogi), belum munculnya perbedaan pendapat, dan masih minimnya usaha kodifikasi. Adapun ciri-ciri masa pengembangan ialah makin banyaknya pakar, pembahasan tema-temanya semakin luas, mulai munculnya perbedaan pendapat, mulai dipakainya argumen dalam menjelaskan kaidah dan hukum bahasa, dan mulai dipakainya metode analogi.
2. Periode Ekstensifikasi (Periode Bashrah-Kufah)
Periode ini merupakan masa ketiga bagi Bashrah dan masa pertama bagi Kufah. Hal ini tidak terlalu mengherankan, sebab kota Bashrah memang lebih dulu dibangun daripada kota Kufah. Pada masa ini, Bashrah telah mendapatkan rivalnya. Terjadi perdebatan yang ramai antara Bashrah dan Kufah yang senantiasa berlanjut sampai menghasilkan apa yang disebut sebagai Aliran Bashrah dengan panglima besarnya Imam Sibawaih dan Aliran Kufah dengan panglima besarnya Imam Al-Kisa’i. Pada masa ini, ilmu nahwu menjadi sedemikian luas sampai membahas tema-tema yang saat ini kita kenal sebagai ilmu sharf.
3. Periode Penyempurnaan dan Tarjih (Periode Baghdad)
Di akhir periode ekstensifikasi, Imam Al-Ru’asi (dari Kufah) telah meletakkan dasar-dasar ilmu sharf. Selanjutnya pada periode penyempurnaan, ilmu sharf dikembangkan secara progresif oleh Imam Al-Mazini. Implikasinya, semenjak masa ini ilmu sharf dipelajari secara terpisah dari ilmu nahwu, sampai saat ini. Masa ini diawali dengan hijrahnya para pakar Bashrah dan Kufah menuju kota baru Baghdad. Meskipun telah berhijrah, pada awalnya mereka masih membawa fanatisme alirannya masing-masing. Namun lambat laun, mereka mulai berusaha mengkompromikan antara Kufah dan Bashrah, sehingga memunculkan aliran baru yang disebut sebagai Aliran Baghdad. Pada masa ini, prinsip-prinsip ilmu nahwu telah mencapai kesempurnaan. Aliran Baghdad mencapai keemasannya pada awal abad keempat Hijriyah. Masa ini berakhir pada kira-kira pertengahan abad keempat Hijriyah. Para ahli nahwu yang hidup sampai masa ini disebut sebagai ahli nahwu klasik.
4.Periode Andalusia (Masa Keemasannya Ilmu Nahwu)
Ketika Thariq bin Ziyad berhasil menaklukan Andalusi, banyak dari para prajurit bawahannya adalah para kaum terpelajar. Mereka menguasai bahasa, syair, dan nahwu. Wawasannya itu terlontar dalam obrolan-obrolan mereka. Jadi belum terbentuk ilmu yang sistematis.Khalifah Abdurrahman al-Nashir, seorang gubernur Andalusia, ketika itu menginginkan kekuasaannya kokoh dengan ilmu pengetahuan, syair, dan sastra, sebagaimana yang terjadi pada masa daulah Abbasiyyah. Setelah berpikir panjang, ia menganggap bahwa yang pantas mengurusi persoalan tersebut adalah Abu Ali al-Qali, yang memiliki kecenderungan pada bani umayah. Di mana ayahnya adalah seorang pelayan Khalifah Abdul Malik bin Marwan
Abu Ali dibesarkan di Bagdad, dan belajar pada guru-guru di sana. Ia adalah orang yang bersungguh-sungguh dalam belajar. Sehingga menguasai ilmu hadits, bahasa, sastra, nahwu, dan sharaf, dari guru-guru (masyayikh) yang sudah terkenal, seperti al-Harawi dalam bidang hadits, Ibnu Darastawih, salah seorang ahli nahwu dan sastrawan terkemuka, Zujaj, Akhfash, Ibnu Siraj, Ibnu al-Anbariy, Ibnu Abi al-Azhar, Ibnu Quthaibah dan yang lainnya. Ia tinggal di Bagdad selama 25 tahun.
Abu Ali telah mengarang beberapa kitab seperti al-Amali yang berisi tentang bahasa dan syair, kitab al-mamdud wa al-maqshur, al-Ibil wa nitajuha, hily al-insan, fa’alta wa af’alta, tafsir mu’allaqat al-sab’, dan kitab al-bari’ fi al-Lughah, yang disusun berdasarkan huruf mu’jam yang katanya setebal 3000 halaman. Selanjutnya, banyak dari orang Andalusia yang belajar kepadanya, seperti Ibnu Quthiyyah dan Abu Bakar al-Zubaidiy. Ibnu Quthiyyah adalah seorang ahli bahasa dan nahwu yang besar, di samping ia sebagai seorang penyair dan sejarawan. Sebagai ulama nahwu Ibnu Quthiyyah telah mengarang kitab al-Af’al. Sedang Abu Bakar al-Zubaidiy adalah seorang ahli nahwu yang sangat terkenal. Ia telah mengarang kitab mukhtashar al-‘ain.
Pada periode selanjutnya, di antara ulama nahwu Andalusia ada yang bernama al-Syalubaini. Ia adalah seorang imam dalam bidang nahwu. Begitu masyhurnya ia. Sehingga banyak siswa yang ingin belajar padanya. Ia telah mengarang kitab dalam bidang nahwu yaitu, kitab tauthiah. Ia lahir di Isybiliyyah pada tahun 562 H dan meninggal pada tahun 645 H..
Setelah Syalubaini, muncul dua orang ahli nahwu yang tak kalah populer, yaitu Ibnu Kharuf dan Ibnu ‘Ushfur. Kedua-duanya sama-sama memiliki pandangan sendiri-sendiri dalam bidang nahwu. Ibnu Kharuf berasal dari Isybiliyah. Ia adalah seorang imam pada zamannya dalam bahasa Arab di Andalusia. Ia adalah salah seorang yang mensyrahi kitab karya Sibawaih, di samping mensyarahi kitab-kitab lainnya seperti kitab al-jumal. Ibnu ‘Ushfur juga berasal dari Isybiliyyah yang membawa panji-panji Arab di Andalusia, setelah gurunya Abu Ali al-Qali. Dan ia telah banyak mengajarkan bahasa Arab di beberapa tempat di andalusia, seperti Isybiliyyah, Syirisy, Maliqah, Lurqah, dan Marsiyyah.
Periode selanjutnya adalah Ibnu Malik. Ia memiliki nama lengkap Jamaludin Muhammad bin Abdillah. Ia dilahirkan di kota Hayyan, salah satu kota di Andalusia sekitar tahun 600 H.. Ia belajar nahwu kepada ulama di kota tersebut, juga kepada Abu Ali al-Syalubaini. Kemudian ia berangkat ke Mesir dan Damaskus. Di sana ia mempelajari ilmu syaria’ah dan menjadi seorang ahli di bidang tersebut. Ia memperoleh kemasyhuran sebanding dengan kemasyhuran imam Sibawaih. Yang membedakan ia dengan ulama nahwu lainnya adalah karena ia sangat ketat dalam memegang kaidah nahwu. Hal ini terlihat dalam kaidah-kaidah yang tertuang dalam karyanya yang sangat populer, alfiyyah. Kitab ini mendapat posisi penting dalam bidang nahwu. Kitab ini telah menyedot jutaan pelajar untuk menghafalkannya, baik di Timur maupun di Barat sampai hari ini. Selain alfiyyah, ia juga telah mengarang sejulah kitab seperti, al-kafiyyah al-syafiyyah, al-Tashil, lamiyyat al-Af’al, al-Miftah fi Abniyat al-Af’al, dan Tuhfatul maujud fi al-maqshur wa al-mamdud. Menurut Ahmad Amin, Sibawaih telah menazhamkan nahwu Sibawaih, lalu mennjelaskannya dan mendekatkan pada masyarakat, dan membuat generalisasi, sehingga kita tidak jauh dari kebenaran. Ia juga seorang imam dalam bidang qiraat yang sangat luas ilmu bahasanya.
Ulama selanjutnya adalah Abu Hayyan al-Gharnathiy. Ia juga dianggap sebagai ulama besar nahwu Andaliusia. Ia seorang ahli bahasa Arab. Ia lahir dari keturunan Barbar. Ia lahir di tahun 654 H.. ia bermadzhab Zhahiriy sebagaimana Ibnu Hazm. Ia ahli dalam bidang nahwu, tafsir, hadits, dan syair. Karya-karyanya mencapai jumlah kurang lebih 65 buah kitab. Tapi yang sampai pada kita hanya sepuluh buah.
Sebagaimana telah diceritakan di atas, maka yang merintis madzhab Andalusia ini adalah Abu Ali al-Qali. Namun demikian sebagaimana disebutkan oleh Ahmad Amin, semua ahli nahwu semenjak Abu Ali al-Qali, masih bertaqlid pada nahwu Sibawaih. Kendati ada beberapa ulama seperti Ibnu Malik dan Abu Hayyan, mereka hanya beriajtihad madzhab -kalau dalam istilah fiqih-, tidak berijtihad muthlaq. Karena memang Khalil bin Ahmad al-Farahidi beserta muridnya Sibawaih telah meletakkan pondasi nahwu dengan pilar-pilarnya yang kokoh, yang sulit digoyahkan pula ditumbangkan.
Tetapi ada seorang ulama Andalusia yang mencoba menggoyangkan pondasi Khalil dan Sibawaih tersebut. Ia bernama Ibnu Madha al-Qurthubiy. Ia berijtihad dengan mutlak dalam bidang nahwu. Ia hidup pada masa dinasti al-muwahhidun. Ia diangkat menjadi pemimpin para Qadhi, ketika kepempinan Ya’kub bin Yusuf. Dinasti Muwahhidun sangat dikenal dengan keberaniannya dalam mempublikasikan madzhabnya. Hal itu ditandai dengan peristiwa pembakaran kitab-kitab madzhab fiqih, atas perintah Yusuf bin Ya’qub, dan menggiring masyarakat untuk memahami al-Qur’an dan hadits secara zhahir.
Menurut Dr. Syauqi Dhaif, masa ini adalah masa ketika dikarangnya kitab al-Radd ‘ala al-Nuhat. Masa ketika maghrib (Andalusia) memberontakan/revolusi masyriq (Bagdad), dalam segala hal, seperti fiqih dan cabang-cabangnya. Dan kenyataannya, sejak pertama berdiri, dinasti tersebut telah mengobarkan revolusi. Maka apabila kita melihat Yusuf membakar kitab madzhab-madzhab yang empat, artinya ia ingin mengembalikan fiqih Masyriq kepada tempat asalnya.
Begitulah kata Dhaif Langkah ini diikuti oleh Ibnu Madha al-Qurthubiy dengan mengarang kitab al-Radd ‘ala al-Nuhat, dengan maksud untuk mengembalikan nahwu Masyriq ke tempatnya. Atau denga kata lain, ia hendak menolak beberapa pokok bahasan nahwu Masyriq dan memurnikannya dari cabang-cabang dan ta’wil sudah usang. Ia ingin menerapkan madzhab zhahiri pada bidang nahwu, sebagaimana pemimpinnya. Ibnu Madha hendak merobohkan madzhab Sibawaih. Ia mengarang tiga buah kitab, yaitu al-musyriq fi al-nahw, tanzih al-Qur’an ‘amma la yaliqu bil bayan, dan al-Radd ‘ala al-Nuhat. Ketiga kitab tersebut berisi bantahan atas nahwu Sibawaih beserta para pendukungnya, serta menganjurkan untuk membentuk nahwu baru.
Setelah tiga periode diatas, ilmu nahwu juga berkembang di Mesir, dan akhirnya di Syam. Demikian seterusnya sampai ke zaman kita saat ini.
E. SIAPAKAH YANG MULA-MULA MENYUSUN ILMU NAHWU?
Melalui pengkajian yang teliti, para ahli menetapkan bahwa yang meletakkan gagasan awal dan dasar-dasar serta metodologi ilmu nahwu ialah Ali bin Abi Thalib. Selanjutnya, pekerjaan tersebut dilanjutkan secara ekstensif oleh muridnya yang bernama Abul Aswad.
Mengenai pendapat yang mengatakan bahwa metodologi ilmu nahwu diadopsi dari tata bahasa lain – terutama Yunani – melalui perantaraan orang-orang Suryani, para ahli menyanggahnya dengan mengatakan bahwa metodologi itu orisinil dari Arab, terutama dengan adanya Al-Qur’an. Para ahli mengatakan bahwa tata bahasa Yunani memang sempat bergumul dan mempengaruhi ilmu nahwu, namun itu terjadi setelah ilmu nahwu sendiri sudah berada di tengah-tengah formasinya.
F. TUJUAN DISUSUNNYA ILMU NAHWU
Tujuan utama penyusunan ilmu nahwu ialah agar bahasa Arab yang fasih tetap terjaga sehingga Al-Qur’an dan hadits Nabi juga terjaga dari kesalahan. Di sisi lain, ilmu nahwu juga bisa dipakai sebagai sarana untuk mengungkap keajaiban bahasa Al-Qur’an (اعجاز القرآن).
G. SIMPULAN
Ilmu nahwu merupakan sebuah ilmu penting dalam menjaga kaidah tata bahasa arab supaya bahasa arab itu terjaga dari keruksakan dan bercampur dengan dialek amiyah. Dalam penyusunannya terdapat kaidah yang sistematis, terstruktur rapih dan disana terdapat muatan logis kalau dilihat dari prespektif lingustik. Sudah semestinya dalam menulis, melafalkan dan berbicara bahasa arab kita mesti menggunakan kaidah nahwu karena itu adalah warisan dari pendahulu kita yang hebat. dari masa kemasa nahwu terus berkembang dan mempunyai karakteristiknya masing-masing. karena berkembang disatu daerah tertentu atau kota tertentu maka jenis nahwu atau aliran nahwu itu di nisbatkan kepada tempat dimana nahwu itu dilahirkan seperti nahwu mesir, nahwu kufah, nahwu basrah, nahwu bagdad, nahwu andalusia Dengan disusunnya ilmu nahwu oleh para pendahulu kita yang luar biasa, kita sebagai generasi yang hidup pada zaman sekarang harus bisa menjaganya dan menggunakan bahasa arab harus dengan sesuai kaidah nahwu.
1 Tanggapan untuk "Sejarah Penyusunan Ilmu Nahwu"
Bagi seorang muslim dan muslimah sudah seharusnya Kita memiliki semangat dan ghirah dalam mempelajari bahasa arab. Terlebih lagi bahasa arab dan wasilah bagi kita dalam mengenal ilmu syari.
Masmuka Artinya Aina Artinya Ufa Bunga SMartphone
Posting Komentar