Sinetron
Indonesia berjudul Kau yang Berasal dari Bintang yang tayang di RCTI
pada Senin (28/4/2014) ditudingmenjiplak drama fenomenal Man From The
Stars produksi SBS Korea Selatan. Sinetron yang dibintangi
oleh Nikita Willy dan Morgan, eks anggota boyband Smash. Soompi
menuliskan sinetron Kau yang Berasal dari Bintang ini, baik lokasi
maupun alur cerita, memiliki kesamaan dengan Man from the Stars. Bahkan
kalau kita lihat sekilas dari judulnya aja sudah kelihatan sama persis
bisa dikatakan itu jiplakan dari terjemahan film tersebut. Anehnya lagi bukannya
mengakui salah dan minta maaf malah mau melanjutjan sinetron itu dengan
mengubah alur ceritanya. saya baca di (www.solopos.com) Pihak
perwakilan RCTI menyatakan telah mengetahui adanya kemiripan dengan
sinetron Man From The Star. Oleh karenanya, kini RCTI beserta rumah
produksi Sinemart menyatakan akan mengubah judul dan alur sinetron Kau
yang Berasal dari Bintang yang telah tayang dua episode tersebut. “Kami
sepakat untuk mengubah judul dan ceritanya,” kata Head of Corporate
Secretary RCTI Adjie S Soeratmadjie.
kata
perwakilan SBS “Kami sedang dalam pembicaraan dengan rumah produksi di
Indonesia tentang hak penerbitan sinetron itu, tapi drama ini sudah
mulai ditayangkan. Kami sedang mencari cara untuk mengambil tindakan
hukum terhadap drama itu, “.( http://www.tempo.co/read/news/2014
/05/01/111574562/ Jiplak-Drama-Populer-Korea-RCTI-Akan-Digugat).
Saya
melihat metode dan cara berekspresi dan berkreasi para seniman dan
sutradara indonesia sangat rendah. Mereka membuat sebuah karya sinetron
dan menghalalkan segala cara demi tujuan memenuhi kebutuhan pasar dan
mengejar retting belaka walaupun itu plagiat dari karya orang. Memang
tren korea sekarang sudah menjamur seperti boy band, girl band, film dan
drama korea, feshion dan sebagainya tetapi dalam berkarya etika untuk
tidak plagiat harus kita junjung. Apalagi ini sudah bergeser kepada
masalah industri dan hak cipta yang mengakibatkan gugatan hukum dan
jelas melanggar Undang-Undang NO.19 tahun 2002 yang terdiri atas 15 bab
dan 78 pasal untuk lebih jelasnya lihat (Sumber: Undang-undang
Perlindungan HAKI, Indonesia Legal Publishing, 2005).
Secara
Filosofis sebenarnya Plato memandang negatif karya seni. Ia menilai
karya seni sebagai mimesis/mimesos. Menurut Plato, karya seni hanyalah
tiruan dari realita yang ada. Realita yang ada adalah tiruan (mimesis)
dari yang asli. Yang asli itu adalah yang terdapat dalam ide. Ide jauh
lebih unggul, lebih baik, dan lebih indah dari pada yang nyata ini. ( http://id.wikipedia.org/wiki/Plato).
Pendapat Plato ini diadopsi oleh madzhab memisis dalam teori sastra dan
seni ada yang berpandangan seni adalah tiruan atau menirukan alam. Seni
adalah pengejawantahan dari realitas kehidupan yang ada.
Makanya
dalam seni dan sastra wajar kalau setiap karya master piece itu menjadi
sumber inspirasi dalam penulisan atau pembuatan suatu karya seni.
Misalnya cerita Romeo dan Juliet terinspirasi dari cerita Laila dan
Majnun atau Tenggelamnya Kapal Van der Wijck karya Hamka (1939) yang
dulu dianggap Abdullah S.P plagiat dari novel Al Majdulin karya
sastrawan Mesir, Mustafa Luthfi Al-Manfaluthi. Novel Al Majdulin atau
Magdalaine atau Magdalena dalam edisi bahasa Indonesia itu merupakan
novel saduran dari novel Sous les Tilleuls (‘Di Bawah Pohon Tilia’)
karya sastrawan Prancis, Alphonse Karr. Pernyataan senada dengan
Abdullah S.P pun dibenarkan oleh sastrawan indonesia beraliran realisme
sosialis Pramudiya Antatour yang mengangap karya Hamka Itu Plagiat dan
ia menyuruh Hamka untuk meminta maaf kepada bangsa Indonesia dan bangsa
Mesir.
Melihat
kasus Buya Hamka pada tahun 1962 dan fenomena plagiat zaman sekarang
tentu jauh berbeda. Seorang sastrawan, sutradara, atau seniman boleh
meniru akan tetapi pada batas tertentu, tokoh, alur, peristiwa, pesan
dan amanatnya harus berbeda, harus ada pembeda antara karya yang disadur dan yang mempengaruhi seorang sastrawan atau seniman dengan karya yang ia buat. Makanya karya Hamka dan Musthafa Luthfi Al-Manfaluti
jelas berbeda walaupun terdapat beberapa kesamaan. Untuk melihat
perbedaaan dan persamaannya baca di
(http://asepsambodja.blogspot.com/2009/10/buya-hamka-dan-tuduhan-plagiat-itu.html).
Menurut saya Buya Hamka adalah menyadur karya Luthfi Al-Manfaluthi kedalam realitas imjinasi alam pikirannya dan jelas pengaruh
Musthafa Luthfi Al-Manfaluti terlihat kuat dalam karyanya tersebut
karena beliau telah membaca karyanya.
Kritikus
sastra H.B. Jassin menolak tuduhan Hamka Plagiat. Menurut Jassin (dalam
Pradopo, 2002), yang disebut “plagiat” itu adalah pengambilan karangan
orang lain sebagian atau seluruhnya dan membubuhkan nama sendiri
seolah-olah kepunyaannya. Di samping “plagiat”, ada saduran, yaitu
karangan yang jalan ceritanya dan bahan-bahannya diambil dari suatu
karangan lain, misalnya cerita luar negeri disesuaikan dengan alam
sendiri (Indonesia) dengan mengubah nama-nama dan suasananya. Saduran
itu pun harus disebutkan nama pengarang aslinya. Selain “plagiat” dan
“saduran”, ada juga “pengaruh”, yakni hasil ciptaan pengarang sendiri
mendapat pengaruh pikiran atau filsafat pengarang lain, baik disengaja
maupun tidak.
H.B.
Jassin dan Junus Amir Hamzah (1963) telah membukukan polemik itu dalam
buku Tenggelamnya Kapal Van der Wijck dalam Polemik. Setelah membaca
tulisan-tulisan yang menuduh Hamka sebagai plagiat maupun yang
menolaknya, Umar Junus (dalam Hamzah, 1963) menyimpulkan bahwa pertama,
Hamka menggunakan pola dan plot yang ada dalam karya Manfaluthi, tetapi
ia mengisi tema dan idenya sendiri. Kedua, Hamka sangat terpengaruh
Manfaluthi sehingga menyenangi dan menggunakan hal-hal yang sama dengan
Manfaluthi, termasuk cara pengucapannya. Hal ini mungkin karena keaslian
pengucapan belum menjadi mode pada masanya. Dalam disertasinya, Rachmat
Djoko Pradopo menilai bahwa persoalan Tenggelamnya Kapal Van der Wijck
bukanlah persoalan plagiat atau jiplakan, melainkan masalah
intertekstual, yakni transformasi dari satu teks ke teks yang baru.
(http://asepsambodja.blogspot.com/2009/10/buya-hamka-dan-tuduhan-plagiat-itu.html).
Maka
dari itu dalam berkarya cipta kita harus jujur dan menghargai pencipta
sebelumnya, kalau kita mau menyadur jangan asal plagiat dan mengklaim hasil karya itu sebagai milik kita sendiri kita harus mencantumkan nama pengarang dan karyanya yang mempengaruhi karya cipta kita, kalau mau menulis buku foot note dan daftar pustakanya sumber asalnya jgn lupa di cantumkan. mengklaim karya orang seolah-olah menjadi karya sendiri adalah
kejahatan yang disebut plagiat atau plagiarisme. Dalam menulis kita harus mencantumkan refrensi jangan copy
paste, apalagi untuk mahasiswa yang mengejar tugas dosennya. Jadilah bangsa yang suka mengupload data ke internet sebagai jerih
payah pemikiran dan karya kita, bukannya mendownload dan menjiplaknya
menjadikannya milik dan pemikiran sendiri.
Melihat
perkembangan tekhnologi di era globalisasi yang serba mudah mendapatkan
refrensi, seharusnya kita memanfaatkan itu sebagai sumber data dan
sumber inspirasi dalam berkarya dan bersaing secara kompetitif
melahirkan karya yang bemanfaat, edukatif, kreatif, inspiratif dan
inovatif. Buya Hamka saja yang menulis dibawah gubuk bisa menghasilkan
karya inspiratif, edukatif dan syarat akan moral. dibawah lindungan
ka’bah, Tenggelamnya Kapal Van der Wijck. bahkan ia menulis tafsir al Azhar didalam penjara.
Lalu
bagaimana fenomena plagiat zaman sekarang? Terutama merebaknya kasus
sintron plagiat total, plagiat karya orang seperti jiplakan lagu,
jiplakan film, copas (copy paste), dll. Apapun bentuk dan modusnya
semua itu salah dan berbeda kalau kita menyadurnya dan kita
terpengaruhi serta memberikan analisis dan muatan nilai baru pada suatu
karya yang ingin kita buat, sebagaimana yang dikatakan pausnya
sastrawan indonesia H.B. Jassin.
Imbas dari plagiat sangat besar dan membahayakan bagi perkembangan anak bangsa dan kedaulatan NKRI, sebagaimana tulisan saya dikompasiana Stop Plagiat: Plagiarisme Menghancurkan Anak Bangsa:
plagiarisme (plagiat) merupakan penyakit sosial yang akan
mensengsarakan anak bangsa, akibatnya membuat lemah mental dan karakter
anak bangsa sehingga melahirkan kemiskinan imajinasi, kreativitas, dan
inovasi untuk mencipta dan berkarya. Plagiarisme mengarahkan anak bangsa
pada cara berpikir instan yang tidak mau belajar dari proses dan
membuat mentalitas anak bangsa kita menjadi anak bangsa konsumtif,
dibodohkan, dan dibuat ketergantungan. Mungkin sekarang kita bisa
merasakannya. Kita akan menjadi negara yang selalu tergantung oleh asing
sebagai gantinya asing masuk menjarah tanah air kita yang tercinta,
lihatlah freefoort di Papua?, lihatlah perusahan sawit di sumatra dan
kalimantan siapa yang punya?.. lihatlah Kenapa kita lebih senang makan
di KFC ketimbang di warteg? Lihatlah wabah industri korea menjamur
dimana-mana? Inilah bentuk neokolonialisme penjajahan baru yang ada di
negara kita.
(http://edukasi. kompasiana.com/2014/05/05/stop-plagiat-plagiarisme-menghancurkan-anak-bangsa-651157.html,). kitajadi budak
dinegara kita sendiri, kita mengekspor TKI/TKW untuk dijadikan budak di
negeri orang, negara kita sudah tak berdikari karena pagiarisme menuntun
kita untuk menjadi negara boneka asing dengan sejuta kepentingannya
untuk mengeksploitasi bangsa dan negara kita.
Solusi
yang saya tawarkan adalah memperkuat basis mental dan karakter budaya
bangsa melalui pendidikannya. Pendidikan haruslah mencerahkan dan
mendidik bangsa untuk membangun bangsanya yang madani. Bangsa madani
adalah bangsa yang berperadaban dan mempunyai mentalitas dan karakter
budaya yang kuat. Mentalitas dan karakter budaya bangsa kita sangat
kreatif dan insfiratif lihatlah nenek moyang kita terkenal dengan
bakatnya sebagai pembuat perahu layar dan arsitektur candi, belum seni
pewayangan, angklung, batik tarian jaipong, reog ponorogo dan
sebagainya, anak bangsa harus punya cipta, karya, rasa, dan karsa yang
diwariskan nenek moyang kita sebagai pendidikan dan ajaran hidup.
Cipta
adalah kesadaran manusia untuk menyadari adanya Hidup itu sendiri.
Dalam Kehidupan Manusia tidak bisa terlepas dari 3 hal yaitu Cipta, Rasa
dan Karsa. Dengan adanya unsur Cipta, manusia bisa menyadari adanya ADA
. ADA nya kita karena Adanya SANG MAHA ADA yang ABADI dialah ALLAH
tuhan semesta alam. Dengan anugrahNya kita bisa merasakan semua yang
ADA. Rasa, adalah mediator / sarana kita mengenal SANG MAHA KEKAL /
SELALU ADA TIDAK BERAWAL DAN BERAKHIR. Semua Manusia tidak pernah lepas
dari Rasa. Karena adanya Rasa timbullah keinginan apa yang disebut dalam
bahasa jawa yaitu , Karsa. Maksud Karsa yang saya maksudkan disini
adalah dalam bentuk keinginan yang diaplikasikan.
(http://waris-design.blogspot.com/2011/05/cipta-rasa-karsa.html)
Ketiga
konsep tersebut digunakan oleh Ki Hajar Dewantoro sebagai metode
pembelajaran hidup yang menjadi dasar peganganya dalam merumuskan konsep
pendidikannya yang menjadi pedoman pendidikan nasional yakni Tut Wuri
Handayani (dibelakang memberikan dorongan), ingmadya mangun karsa
(ditengah menciptakan peluang untuk berkarsa), ing ngarsa sungtulada
(didepan memberi teladan).
sumber: http://sejarah.kompasiana.com/2014/05/05/mau-palgiat-belajar-dari-hamka-651283.html
Belum ada tanggapan untuk "MAU PLAGIAT?... BELAJARLAH DARI HAMKA"
Posting Komentar