Al-Qur'an
adalah wahyu Allah yang mengatur hubungan manusia dengan Allah, dirinya sendiri
dan lingkungannya. Wahyu itu diturunkan sebagai petunjuk menuju jalan yang
benar. Didalamnya terdapat sumber kehidupan, ilmu pengetahuan,
kebudayaan, sosial, peradaban, hukum, moral, kebijaksanaan, yang bagi siapa
yang menggalinya akan mendapatkan kebahagiaan. Wahyu itu bukan semata-mata jamuan spiritual (ma'dubah)
yang terbaik bagi ummat manusia
akan tetapi jamuan untuk seluruh alam semesta (rahmatan lil alamin).
Al-Quran sebagai kitab
wahyu agama islam merupakan sumber pengetahuan bagi manusia dan menghargai akal
sebagai potensi kecerdasan manusia dalam membaca wahyu tersebut. Agama
islam tidak pernah mengklaim wahyu Tuhan sebagi satu-satunya sumber pengetahuan
dan melupakan kecerdasan manusia, atau sebaliknya yang menganggap akal pikiran
manusia sebagai satu-satunya sumber ilmu pengetahuan dan melupakan Tuhan. Jadi
sumber pengetahuan islam itu ada dua macam yakni berasal dari wahyu allah dan
berasal dari akal pikiran manusia, dengan kata lain teoantroposentrisme.
Pada era modernisme
menghendaki pemisahan antara ilmu dan agama (diferensiasi)
yang melahirkan ilmu sekuler barat yang bebas dari nilai atau kepentingan (Positivisme). Tetapi pada realitasnya
ilmu telah melampaui dirinya sendiri. Ilmu yang semulanya adalah ciptaan
manusia telah menjadi penguasa atas manusia. Ilmu sekuler atau sekulerisme
bukan hanya merambah pada tataran antroposentrisme dan diferensiasi pada
tataran ilmu dan prilaku. Sekarang ini sekulerisme telah menjadi aliaran
pemikiran dan menggantikan keyakinan beragama. Maka seluruh kehidupan akan
menjadi sekuler, bahkan agama akan lenyap, atau hanya menjadi ritual spiritual
dan menjadi kesadaran kosmis. Sekulerisme adalah eskatologi manusia modern.
Sekulerisme sudah tidak
lagi sesuai dengan semangat zaman. Menurut Kuntowijoyo pada peradaban yang
disebut pasca modern perlu adanya perubahan dari diferensiasi menuju
dediferensiasi (rujuk kembali). Kalau deferensiasi menghendaki pemisahan agama
dari sektor-sektor kehidupan lain, maka deferensiasi adalah menyatukan kembali
agama dengan sektor-sektor kehidupan lain, termasuk agama dan ilmu.
Ilmu ke-adab-an adalah
suatu ilmu yang mentransformasikan ajaran dan nilai-nilai spiritual agama
dengan temuan kreasi dari akal pikiran manusia. Ilmu ke-adab-an bukanlah bebas
nilai yang sekuler dalam menopang peradaban manusia, ataupun ilmu relegius yang
menghilangkan peran kreasi pikiran manusia. Ilmu ke-adab-anlah yang menyatukan
wahyu Tuhan dalam hal ini agama dengan temuan pikiran akal manusia.
Salah satu aspek penting dalam ilmu ke-adab-an dalam menopang peradaban adalah peran utama moral dan spiritual. George Zaidan, penulis Kristen asal
Lebanon menulis, "Langkah pertama yang dilakukan Rasulullah Saw setelah
tiba di Yasrib
(Madinah) adalah menciptakan persaudaraan antara Mekah dan Yasrib. Ketika
sekumpulan manusia menempati suatu tempat dan menetap di daerah tersebut maka
akan terbentuk diantara mereka hubungan sosial kemasyarakatan, dan persaudaraan
(ukwah
islamiyah).
darisana akan lahir interaksi antar manusia untuk membangun kemajuan dan
keteraturan di tempat tersebut, kota atau madînah, itu kenapa Rasulullah
menamakan Yatsrib menjadi Madinah. Persaudaraan
antara kaum Muhajirin dan Anshar merupakan bentuk persatuan Islam yang
dicanangkan Rasulullah." Lebih
dari itu Abu Bakar Hamzah dalam “Sejarah Kebudayaan Islam” menambahkan bahwa
wujud pembangunan tadi mempunyai dua unsur utama yang seiring, kerohanian dan
kebendaan.
Sayyid Qutb melihat ilmu
keadaban dalam membangun peradaban bukan sebagai kemajuan kebendaan/materi
melainkan peradaban tauhid yang integrallistik. Ia dilahirkan oleh sistem Islam
yang menyempurnakan manusia dengan kemanusiaannya, menimbulkan makna hakikat
ubudiyah kepada Allah SWT dan keseimbangan yang menyeluruh dalam hidup individu
dan masyarakat. Maka ilmu keadaban akan menuntun kehidupan manusia dalam
bermasyarakat yang telah mencapai taraf kehalusan tatasusila dan kebudayaan
yang luhur bagi seluruh masyarakatnya.
Ilmu ke-adab-an sangat menekankan nilai
spritualitas agama yang menyediakan tolak ukur kebenaran ilmu (benar atau
salah), bagaimana ilmu itu diproduksi (baik atau buruk), dan tujuaan ilmu
(manfaat atau merugikan). Selebihnya
adalah hak periogratif manusia yang oleh Allah di anugrahi akal untuk berpikir
meformalisasikan ilmu pengetahuan. Ilmu ke-adab-an yang lahir dari nilai-nilai
spritualitas agama islam haruslah menjadi ilmu yang objektif, rasional dan
ilmiah. Artinya suatu ilmu bukanlah sentiment keagamaan, anti agama dan non
agama, atau sentiment kepentingan hegemoni dunia timur dan barat, tetapi
sebagai pemikiran dan gejala keilmuan yang objektif dan rasional.
Nilai objektifitas dan
rasionalitas terletak pada struktur keilmuan ilmu keadaban itu sendiri.
Struktur keilmuan dalam hal ini strukturalisme
mempunyai pengaruh kuat dalam membangun suatu landasan teori atau paradigma
ilmu pengetahuan. Sehingga ilmu mahasiswa fakultas adab, mahasiswa ilmu sosial
dan humaniora harus mempelajarinya. Mereka yang belajar kritik sastra misalnya
harus mengetahui teori strukturalisme genetik suatu metode yang berusaha
mengganungkan strukturalisme dengan sejarah. Bukan hanya dalam kajian sastra
strukturalisme meliputi bidang yang sangat luas diantaranya adalah sosilogi,
ilmu politik, kebudayaan, antropologi, lingistik dan karya sastra. Ilmu
keadaban bukan hanya memahami islam sebagai agama yang berkutat pada dataran
teologis dan ritualis, tetapi bagaimana menerapkan nilai-nilai ajaran islam, spirit
sejarah islam dan kondisi sosial umat islam yang terkandung pada teks
lama untuk ditransformasikan ke konteks sosial masa kini tanpa mengubah
strukturnya. Maka ilmu sejarah peradaban islam, filologi, hermeneutik,
antropologi, linguistik, sastra, kearsipan, ilmu perpustakaan dan sebagainya
mempunyai peranan penting dalam menopang ilmu keadaban.
Ilmu ke-adab-an mempunyai banyak klasifikasi ilmu dan tersebar pada
derivasi keilmuan yang menopang pada madaniyah (civilization), hadharah (peradaban), tsaqofah (kebudayaan), Turats (tradisi) dan fikr (pemikiran). Kelima aspek ke ilmuan
diatas memiliki kajiaan yang saling tumpang tindih tetapi dengan tingkat
spesifikasi dan generalitas yang berbeda. Madaniyah
adalah ruang keilmuan yang general mencakup hadharah (peradaban), tsaqofah
(kebudayaan), Turats (tradisi)
kesenian, kesusastraan, ilmu pengetahuan gaya hidup personal dan komunal.
Sedangkan hadharah mempunyai tingkat generalitas dibawah madaniyah, sebab ia hanya mencakup
aktivitas akal budi pekerti atau pemikiran-pemikiran yang menjadi basis produk
material. Sedangkan tsaqofah lebih
spesifik karena hanya terfokus pada sisi pemikiran dalam hadharah baik pada tatanan teoritis maupun praktis,. Adapun turats menunjukan pada produk hadharah (peradaban) dibidang pemikiran, kesusastraan, kesenian termasuk diantaranya adalah tradisi rakyat. Dan
fikr merujuk pada dimensi teoritis
pemikiran dalam tsaqofah
(kebudayaan). Melihat presfektif ilmu ke-adab-an ini tergolong dalam ilmu humaniora seperti ilmu bahasa, sastra, sejarah, kebudayaan, antropologi, keasripan, perpustakaan, sosiologi, psikologi. Maka tidak
sedikit Perguruan tinggi/UIN/IAIN di Indonesia menamakan Fakultas Adab di
tambah dengan ilmu humanira ataupun ilmu budaya menjadi Fakultas Adab dan
Humanora ataupun Fakultas Adab dan Ilmu Budaya.
Disamping kelima aspek keilmuan tadi ada aspek tamaddun hampir memiliki kesamaan makna
dengan hadharah yang mempunyai arti peradaban. Term tamaddun ini terdiri dari din
dan madinah. Bisa dengan jelas
dicerna dari 2 komponen tersebut tamaddun
mewakili 2 sisi utama peradaban. Sebab kata din
membawa makna keberhutangan, susunan kekuasaan dan mencari pemerintah yang
adil. Artinya, dalam istilah agama tersembunyi suatu sistem kehidupan, oleh
sebab itu ketika agama Allah yang bernama Islam telah disempurnakan dan
dilaksanakan di suatu tempat, maka tempat itu diberinama madinah. Dan akhirnya dibentuk akar kata baru madana yang berarti membangun, mendirikan kota, memajukan,
memurnikan dan memartabatkan (Ibnu Mundzir ”Lisan al-Arab”). Mengutip
pernyataan Ibnu Khaldun yang terkenal ”al-Insanu
madaniyyun bi al-thab’i” manusia adalah makhluk sosial secara tabi’atnya.
Maka madaniyyun disini bisa diartikan ijtima’/
perkumpulan sosial masyarakat. Artinya antar keduanya, tamadun dan hadharah
sama-sama memiliki arti kumpulan manusia yang menetap di wilayah kota dan
mempunyai aktifitas dan interaksi antara mereka dalam memajukan kehidupan dan
meraih capaian yang ada.
Dr. Hamid Fahmy Zarkasyi dalam makalahnya, ”Problem Peradaban Islam dan Barat” menjelaskan bahwa:
Peradaban adalah derivasi dari kata adab. Adab
sesungguhnya berarti jamuan makan yang dalam konteks ini al-Qur'an merupakan
jamuan spiritual (ma'dubah) yang
terbaik bagi ummat manusia. Maka para ulama terdahulu mengartikan adab sebagai ilmu, ta'dib adalah pendidikan atau pananaman ilmu dan konsekuensi
terkati seperti iman, amal, dan akhlak. Ta'dib
adalah usaha pengkaderan manusia-manusia beradab, yaitu manusia yang mempunyai
ilmu dan mempunyai moralitas yang tinggi atau manusia-manusia yang ilmunya
disertai amal dan sebaliknya. Manusia beradab adalah individu yang dapat
menempatkan sesuatu sesuai dengan kedudukan dan tempatnya; individu yang dapat
menempatkan kedudukan dirinya dihadapan Penciptanya dan dikalangan
masyarakatnya. Jika ia seorang rakyat jelata ia mengetahui hak dan
kewajibannya, jika ia seorang pemimpin ia mengerti arti keadilan dan berlaku
adil, jika ia seorang ulama ia berani mengatakan yang hak dan yang batil kepada
siapapun dan dimanapun, jika ia seorang seorang wakil rakyat (politisi) ia
dapat meletakkan (memilih) seseorang sesuai dengan kapasitas dan keutamaannya
baik dihadapan Tuhan maupun dan dihadapan manusia (rakyat)”
Sekarang adalah masa keemasan teknologi dan sains
serta arus globalisasi yang tak terkontrol, masa krisis moral yang dituntut untuk harus maju bersaing dan berkompetensi secara
tidak sehat,
Aspek keilmuaan seseorang ditentukan oleh pasar dan dunia pendidikan
terkomersialkan. Menurut Bahren Nurdin bahwa peradaban global
(kapitalisme) siap menelan korban bagi siapa saja yang tidak siap mengikuti dan
menghadapinya. Ritme kehidupan manusia yang semakin menggila.
Kamajuan teknologi merajalela merambah dan mengikis nilai-nilai religius dan
budaya-budaya ketimuran, juga kearifan lokal adat istiadat setiap detik
digerogoti. Tekhnologi sudah
menjadikan
manusia sebagai
masyarakat mesin. Tekhnologi sudah menjadi tujuan akhir peradaban
barat.
Ilmu ke-adab-an menerima
sains dan teknologi sebagai alat bukan untuk tujuan. Ilmu ke-adab-an mengandung
nilai spiritual agama dan moral yang berhubungan erat dengan ilmu pengetahuan,
kebudayaan dan peradaban
yang dibangun. Ketiga hal itu juga berperan penting dalam mengagungkan
ilmu pengetahuan, kebudayaan dan peradaban yang humanis-teosentris. Sebagian besar pemikir kontemporer sepakat bahwa meski
Barat sukses di bidang teknologi dan sains, tapi terpuruk dari sisi moral.
ungkapan lain, Barat dari sisi peradaban, sama sekali tidak berkembang, bahkan
malah terjebak dalam dekadensi.
Tantangan ilmu ke-adab-an dalam peradaban global adalah tantangan ideologi, modernitas, invasi SDA, ekonomi, politik, dan kebudayaan, arus globalisasi dan informasi, dan lainnya.
Ilmu ke-adab-an bukanlah
klaim keilmuan islam, meskipun la lahir dari tradisi keilmuan islam ilmu
ke-adab-an sangat kontekstual untuk diterapakan tidak hanya ditimur bahkan di
barat. Ilmu keadaban menjaga dan mengembangkan suatu peradaban, kebudayaan,
tradisi, adat istiadat lokal, kesenian, khasanah pemikiran, kehidupan individu
dan sosial masyarakat, supaya tetap maju sesuai dengan cita-cita yang dinginkan
bersama menuju masyarakat adil makmur yang baldatun
toyyibatun wa rabbun ghafur.
Sumber
Bacaan
Amin Abdullah, Filsafat Etika Islam: Antara al-Ghazali
dan Kant
(Bandung
Mizan, 2002)
Amin Rois, http://aminrois.blogspot.com/2010/10/definisi-peradaban-1.html
Hasan Hanafi, Oksidentalisme: Sikap Kita Teradap Tradisi Barat (Jakarta: Paramadina 2000)
Kuntowijoyo, Paradima Islam: Interpretasi Untuk Aksi
(Bandung:
Mizan, 1994)
Kuntowijoyo, Muslim Tanpa Masjid (Bandung:
Mizan, 1991)
Kuntowijoyo, Islam Sebagai
Ilmu (Yogyakarta:
Tria Wacana, 2006)
Lathiful Khuluq Dkk, Islam dan Ilmu Ke-Adaban: 50 Fakultas Adab
dan Ilmu Budaya UIN Sunan Kalijaa Yoyakarta (Yogyakarta:
Adab Perss, 2011)
M. Quraishihab, Wawasan Al-Quran: Tafsir Maudu’i Atas
Pelbagai Masalah Umat (Bandung: Mizan 1996)
Jean pegaet dalam structuralism
ada tiga ciri dalam teori structural 1) Wholnees
(keseluruhan) ialah suatu kohesi atau keterpaduan. Seluruh susunan
itu sudah lengkap, dan struktur bukan semata-mata terdiri dari kumpulan
unsur-unsur yang lepas. Ada perbedaan antara keseluruhan dengan unsur-unsurnya.
Unsur-unsur tidak berdiri secara terpisah, tetapi menjadi milik kesuluruhan
suatu struktur. 2) Transformation
(perubaan bentuk) struktur itu tidak statis, karena gagasan mengenai
perubahan bentuk itu penting. Struktur mampu memperkaya dirinya dengan
bahan-bahan baru. 3) Self
Regulation (mengatur diri sendiri) penambahan unsur-unsur baru tidak pernah
berada di luar struktur, tetapi tetap memelihara struktur itu. Dengan demikian
suatu struktur itu mengatur dirinya sendiri, melestarikan dirinya sendiri dan
tertutup dari kemungkinan luar.
Belum ada tanggapan untuk "ILMU KE-ADAB-AN DAN PERANANYA DALAM PERADABAN GLOBAL[1]"
Posting Komentar