Kedatangan bangsa-bangsa Barat ke
kawasan Asia telah dimulai sejak permulaan abad ke-16. Pada 1511
Portugis menduduki Malaka, lalu tahun 1522 mendirikan benteng di
Ternate. Tahun 1611 Belanda mendirikan bennteng di Jakarta ( Batavia
), namun dalam penjajahan yang berlangsung dua setengah abad, rakyat
pribumi dibiarkan tetap bodoh agar bias di perbudak dan dikeruk
kekayaan negerinya. Barulah pada separoh akhir pertengahan abad ke-19
Belanda mau membuka sekolah model Barat bagi kaum pribumi. Semula
sekolah semacam itu hanya di khususkan bagi golongan priyayi dan
anak-anak orang Kristen untuk mendidik kacung-kacung
mereka dalam
berbirokrasi, tetapi kemudian ada juga anak-anak wong
cilik berduit dapat
mengenyam pendidikan model Barat. Bahkan banyak pula yang
berkesempatan melajutkan pendidikan mereka din Belanda. Pendidikan
model Barat ini berpengaruh terhadap munculnya golongan terpelajar
pribumi. Golongan inilah yang kemudian meniupkan semangat untuk
berjuang melawan penjajah.
Pengaruh pendidikan Barat modern
sendiri terhadap masyarakat pesantren ( agama ) adalah munculnys
gerakan permurnian pemgamalan syari’at dan modernisasi pemikiran
Islam, yaitu gerakan kembali ke budaya progresif seperti yang
berlangsung di zamannya Nabi Saw, dan zaman p0emikiran ilmiah pada
peradaban Bagdad dan Kordova. Hal itu berarti menjauhkan diri dari
setiap bentuk bid’ah dan khurafat. Dalam budaya Jawa , hal itu
membebaskan diri dari bentuk sinkretik slamatan-slamatan
dan tahlilan yang selama berabad-abad telah mentradisi dikalangan
masyarakat pesantren.
Melalui kaca mata Islami, gerakan
kebangkitan agama ternyata menyadarkan umat Islam kepada empat
lanngkah perkembangan pemikiran Islam, yakni :
Pertama langkah
kembali ke syar’I yaitu kembali kepancaran budaya Islam syar’I
yang progresif dan rasional ilmiah dengan seruan untuk membuka pintu
ijtihad kembali ( kembali ke Al-Quran dan Sunnah ) yang mewajibkan
ijtihad dan menghargai ulama yang bias mencapai derajat mujtahid.
Kembali ke Al-Qur’an dn Sunnah bukan berarti mengabaikan dan
meremehkan pendapat mazhab-mazhab terdahulu. Akan tetapi justru
memandang produk-produk mazhab-mazhab itu amat penting dan tidak
mungkin diabaikan bagi calon ahli agama.
Menjadi pemikir agama tidak mungkin
dicapai tanpa mengkaji penmdapat mazhab-mazhab terdahulu dalam kitab
kuning. Pentingnya pengkajian kitab kuning ditunjukan oleh
Muhammadiyah di Indonesia,yang pada muktamarnya di Pekalongan pada
1927 memutuskan untuk mendirikan Majelis Tarjih sebagai tulang
punggung dalam mengatasi persoalan agama. Tarjih artinya
mempertimbangkan pendapat mazhab yang lebih kuat atau kemingkinan
menemukan pandangan batu dalam menghadapi perubahan zaman.
Fatwa-fatwa Majelis Tarjih memang menjadi bahan pertimbangan bagi
pengikut Muhammadiyah, tetapi sifatnya tidak mengikat, sebab keadaan
lingkungan mungkin saja membutuhkan kearifan lain. Misalnya Majelis
Tarjih belum berani member keputusan halal terhadap bunga bank.
Tetapi tokoh-tokoh Muhammadiyah banyak yang menabung dan meminjam
uang dari bank.
Kedua, gerakan
pembaruan pemikir dan pemahaman agama. Gerakan ini dipelopori oleh
Jamaluddin Afghani, Muhammad Abduh dan Rasyid Ridla. Berbeda dengan
gerakan pemurnian agama kaum Wahabi, gerakan pembaharuan pemikir
Islam merupakan reaksi terhadap kejumudan dan keterbelakangan umat
Islam. Keterbelakangan ini telah mengakibatkan umat Islam
diinjak-injak oleh penjajah Barat. Dari reaksi dan keprihatinan akan
ketertinggalan umat dari bangsa-bangsa Barat, yang menjadi pokok
pemikiran gerakan ini adalah upaya menganalisis sebab-sebab yang
melemahkan umat Islam, untuk kemudian mengobatinya. Timbullah ide
untuk merekontruksi ajaran Islam dengan memanfaatkan unsur0-unsur
dinamis sains yang bersumber dari peradaban Barat.
Di Indonesia upaya modernisasi
pemikiran Islam ini sering disebut dengan istilah aktualisasi Islam
dan umat Islam.Muncullah berbagai macam konsep yang terkadang kurang
jelas maksutnya. Misalnya, Sekularisasi Islam, membumikan Islam,
tafsir konteksual dan sebagainya. Kelamahan mendasar kaum modernisasi
sudah menjadikan pemikir Islam sebagai sesuatu yang transendem (
melanggit ). Jadi masih bersifat fisofos-spekulatif seperti halnya
pemikiran ulama abad pertengahan ( zaman kebesaran Bagdad ). Yakni
masih terpaku pada cara berfikir keIslaman yang normative. Arah
pemikiran ini akhirnya mandul dan tidak banyak menghasilkan
pembaruan. Pemikir dalam bidang akidah ataupun hukum Islam tetap
berjalan di tempat. Tetapi dewasa ini para cendekiawan muslim yang
menguasai ilmu umum jauh lebih maju dan progresif daripada para ulama
yang tradisional-normatif. Keadilaninilah ynng memicu munculnya ide
baru, yaitu penelitian agama.
Ketiga, membumikan
wawasan dan pemikiran Islam , yaitu mengembangkan wawasan positivism
Islam, yang berarti menggali ilmu baru Islam yang bersifat hisyoris..
Zaman modern ini , ahli agama tidak cukup mengkaji kitab kuning
semata, melainkan juga harus megkaji ilmu kehidupan di tengah
masyarakat dan budaya lokalnya. Oleh sebab itu ilmu agama tidak cukup
dikaji secara deduktif, melainkan dikaji secara analisis empiric..
Pengulatan Islam dan budaya Jawa merupkan bidang ilmu yang masih dlam
penelitian, ilmu keislaman yang empiric ini diperlukan pendekatan
secara positivistic.
Kempat , beupaya
menjadikan agama sebagai moral power. Agama sebagai kekuatan moral
merupakan sebuah keharusan. Oleh sebab itu Nabi Muhammad Saw diutus
untuk menyempurnakan akhlak. Di Indonesia, agama perlu mendukung
penjabaran dan pengamalan falsafah kenegaraan pancasila. Tuntutan
agama Islam menjadi bentenmg bagi moral power semakin kuat. Akan
tetapi, dominasi rasionalitas teori ilmiah atau kemajuan peradaban
dunia telah mengarah kepada system kapitalisme dan membuat dunia
kemanusiaan seakan tenggelam oleh moralitas serba sekuler dan
materialis. Misalnya Agama Kristen Barat, ternyata tidak mampu
memoderalisasi arus sekularisme dan materialism, bahkan
terpinggirkan.
Kembali kepada masalah produk sejarah
interaksi Islam dan budaya Jawa. Kebudayaan Islam kejawen didukung
oleh pra priyayi yang termasuk golongan cendekiawan masa itu. Karena
itu, para pendukung lingkungan budaya Islam-Kejawen ini berwawasan
indidual, mandiri dan dinamis. Apalagi paham patheisme dalam tasawuf
tidak terikat pada syari’at yang terpilih, tetapi pada konsepsinya
bahwa Tuhan dan mmanusia adalah kesatuan . Dengan demikian, filsafat
mistik ini memitoskan Sang Raja sebagai pengejawantahan Tuhan (
God- King ) . Jadi
mistisme dijadikan alat untuk memperkuat kekuasaan, sehingga menjauh
dari eskapisme paham tererat dalam pesantren. Dlam lingkungan budaya
priyai ( Islam-Kejawen ), nilai kekuasaan merupakan segala-galanya.
Yakni moralitas kekuasaan yang berprinsip bahwa “ kebenaran
politik memiliki logika dan pembenaran berdaasarkan analisi atas
ancaman, tantangan, hambatan dan gangguan bagi kelangsungan kekuasaan
politik itu “. Dalam ungkapan Jawa, “ kedudukan itu adalah
kebahagiaan “ dikarenakan kedudukan dipandang sebagai kebahagiaan,
orang mudah tergoda untuk melakukan tindak korupsi dan kolusi.
Hal yang menarik dengan masuknya
budaya Barat, para pendukung budaya Islam-Kejawen cepat menyesuaikan
diri terhadap pendidikan model Barat. Karena golongan proyayi lebih
dipriyoritaskan oleh Belanda sebagai pembatu birokrasi
pemerintahannya, maka golongan ini mudah menyesuaikan diri dengan
kemajuan peradaban Barat, sehingga dalam masa kemerdekaan merekalah
yang memegang tampuk pimpinan Negara.
Adapun lingkungan budaya Islam
pesantren besifat sangat ekspresif dan mengarah pada mitologisasi
para wali yang konon menguasai berbagai macam il,u ghoib ( krtamat ).
Lingkungan budaya Islam pesantren di Jawa pada dasarnya bersifat
tradisional dan lamban dalam menerima pengharuh budaya Barat. Apalagi
system guruisme didalamtradisi terekat lebih menomorsatuka ilmu
ghoib, sehingga sulit untuk mengembangkan daya kritis seperti dalam
pendidikan model Barat. Belum lagi naluri kepribumian yang
anti-Barat, membuat mereka enggan memasukkan anak mereka
kesekolah-sekolah Belanda. Bahkan ada anggapan bahwa menyekolahkan
anak ke sekolah Belanda sama saja dengan membiarkan anak menjadi
penganut agama Kristen. Akan tetapi, karena penyebaran Islam zaman
penjajahan itu cukup luas,tentu ada sejumlah santri yang ikut
mengenyam pendidikan di sekolah-sekolah umum. Apalgi banyak juga
diantara mereka yang termasuk golongan priyayi. Misalnya, menjabat
sebagai penghulu keratin ( kesultanan ) atau pegawai jabatan agama.
Di Jawa gerakan reformasi Islam
dilakukan dengan penuh kearifan. Mungkin Muhammadiyah, Persatuan
Islam ( Persis ) dan Partai Serika Islam Indonesia ( P S I I )
menyadari kemustahilanmengubah dengan seketika para penganut Islam
tradisional menjadi Islam syar’I, karena itu patra pembaru menempuh
jalan melalui perubahan system pendidikan. Merka lebih mengedepankan
amar ma’ruf
dari pada nahi
mungkar.
Belum ada tanggapan untuk "PENGARUH PERKEMBANGAN BUDAYA ISLAM DI JAWA"
Posting Komentar