Ajaran tasawuf yang sangat di gandrungi oleh para pengamal Tharikat Mu’tabarah itu tidak hanya berkembang di daerah Timur Tengah saja tetapi sudah merambat jauh ke negara-negara lain khususnya Asia Tenggara seperti Malaysia, Singapura, Indonesia dan Brunei Darussalam Melalui makalah ini, kami akan mencoba memaparkan biografi ringkas dari tiga orang tokoh sufi yang mengembangkan paham tasawuf di Indonesia serta ajaran dan karya-karya mereka.
pada tulisan i ini meliputi pembahasan yang berkaitan dengan ahli tokoh aliran wujudiah (existensialisme), permasalahan tersebut meliputi pengertian, perbedaan dan salah satu tokohnya..
A. DUA KELOMPOK ALIRAN SUFI
Pada umumnya jamaah ahli tariqah Al-Mu’tabarah yang ada di Indonesia pada abad ke-16 dan 17 yang mengaku mengikuti dan menganut ajaran kaum sufi itu terbagi kepada 2 (dua) golongan yang kadang-kadang tampak saling besebrangan yakni ada yang dapat dipengaruhi oleh ajaran al-Hallaj dan Ibn Arabi dan ada pula yang tidak. Yang pertama disebut kaum sufi Wujudiah (Pantheisme/Wahdatul Wujud), sedang yang kedua disebut kaum sufi Ahlissunnah Waljamaah.
B. ALIRAN WUJUDIAH DAN SUMBER AJARANNYA
Pada mulanya ajaran ini disebut aliran Wahdatul Wujud (munisme) atau Aliran Faidh (emanisme) seterusnya di zaman Syamsuddin al-Sumatrani (murid oleh Hamzah al-Pansuri) hingga dalam sastra Malayu dikenal dengan aliran martabat tujuh. Naruddin al-Raniri lah yang menyebutnya dengan nama aliran Wujudiah . Yang dia maksud aliran Wujudiah ini adalah orang-orang yang mempunyai paham bahwasanya segala apa yang ada (maujudat) ini walaupun kelihatannya banyak namun pada hakikatnya satu jua yang merupakan kesatuan antara Zhahir (kulit) dan batin (isi) yakni Allah swt. Dan sekalian mahlukNya. Kaum wujudiah pun telah mengatakan bahwasanya `ain dzat terbagi dua, yaitu; yang pertama `ain tsabitah dan yang kedua `ain kharijah. Alam yang kelihatan ini `ain kharijah. (kulit luar dari `ain tsabitah / al Haq/Tuhan) jadi apa yang dikatakan alam dan apa yang dikatakan Allah itu pada hakikatnya satu jua. Dengan pengertian bahwasanya esensi dari maujudat ini adalah Tuhan. Atau dalam kata lain wujud mahluk ini sebenarnya subtansi dari wujud sang Khaliq. Seperti inilah yang disebut paham aliran wujudiah yang oleh sebagian buku disebut paham imanenisme dan paham pantheisme yang lebih pupoler dengan istilah martabat tujuh.
Pada praktiknya paham wujudiah ini menitik beratkan fokus batin terhadap Nur Muhammad yang menurut mereka adalah asal segala wujud dalam aktifitas sehari-hari. Di antara ulama-ulama sufi yang tidak termasuk dari golongan mereka (wujudiah) adalah al-Qusyairi al-Junaid dan Ibn Ataillah. Selurah kaum Ahli Sunnah Waljamaah pun menentang terhadap ajaran ini karena menurut mereka ajaran ini tidak bersumber kepada Alquran dan Al-Hadits yang sahih. Syekh Khalid Al-Baghdadimenyebutkan bahwasanya Ibn Arabi, Ibn Sab’in dan beberapa orang selain mereka telah mengadopsi beberapa potongan ajaran filsafat yang mereka gubah menurut bahasa mereka sendiri dan kemudian mereka masukkan kedalam ilmu tasawuf. Al-Habib Abdullah bin Alwi Al-Haddad menyebutkan bahwa sebagian besar karya Ibn Arabi itu termasuk kelompok buku-buku yang terlarang untuk dibaca.Paham wujudiah ini masuk ke-Indonesia dari dua arah (dari Arab, yaitu kitab Al-Insan al-Kamil karya al-Jili dan dari India yaitu kitab al Tuhfah al Mursalah karya Al-Gujarati). Kaum sufi memang banyak membikin istilah-istilah sufistik seperti yang tersebut dalam kitab al-Qusyairiyah, al-Manhal ash Shafi dan Tanya Jawab Sufistik yang di antaranya adalah yang berkenaan dengan ma’rifat. Dalam istilah Al-Bisthami ada yang disebutnya : “fanaul fana”, yaitu hapusnya segala yang baharu dalam yang mutlaq. Mengenai teori penciptaan, Al-Hallaj berbeda dengan ibn Arabi, Al-Hallaj menggunakan teore emanisme (Al-Faidh) yang berdasar kepada Perjanjian Lama /israiliyat tentang penciptaan alam,yangberbunyi
خلق الله ادم على صورته
Sedang Ibn Arabi menggunakan teori monisme (tajalli) yang artinya wujud yang sebenarnya hanya tunggal yaitu wujud Tuhan, sedang mahluk itu adalah bayang-bayang Tuhan. Proses menampakkan Tuhan keluar dalam beberapa martabat dinamakan tanazzul, sedang proses kenaikan manusia untuk kembali kepada tuhan taraqqi. Dalam futuhatnya Ibn Arabi menyebutkan empat martabat. 4 (Empat) martabat ini kemudian oleh al-Gujarati dikembangkan hingga 7 (tujuh) martabat, yaitu:
1) Ahadiyah :Tidak Menentu hakikat /kunhi/ hakikat dzat Allah semata / ke-Esaan yang murni yakni masih murni dari kaitan selainnya, yang No.1 ini disebut juga Lahut.
2) Wahdah (ta’ayyuun I) :Menentu tingkat I / ke-Esaan yang mengandung kejamakan/zhuhur yakni terbayang sifat dan asma yang belum rinci / ke esaan yang belum rinci.
3) Wahidiyah (ta’ayyun II) :Menentu tingkat II (zhuhur) yakni terbayang sifat dan asma secara rinci / keesaan yang rinci / hakikat insan . yang no 2 dan 3 ini disebut juga Jabarut.
4) Alam arwah :Ketentuan yang halus / barzakh / keutuhan yang atomis dzatnya . Disebut juga alam Malakut
5) Alam amtsal :Kesatuan yang besar tetapi belum rinci ( tidak bisa dipisah-pisah bagiannya, pencerminan roh yang disebut juga alam mulk / syahadah.
6) Alam ajsam :Kesatuan yang besar dan sudah rinci / kebendaan sempurna disebut juga alam nasut.
7) Insan kamil :Sebagai manusia cermin Tuhan yang lengkap ya’ni mencakup seluruh martabat tersebut di atas.
C. DI ANTARA KOMENTAR PARA AHLI TENTANG ALIRAN WUJUDIAH
Di antara komentar para ahli tentang aliran wujudiah :
1. Al Habib Abdullah bin Alwi Al Haddad, beliau pernah mengatakan bahwa kadang-kadang untuk memahami kata-kata Ibn Arabi itu mesti dibutuhkan pengetahuan syariat dan tasawuf agar keyakinan seseorang tidak goyang karenanya sebab didalam masalah itu terdapat kesempatan bagi setan untuk menyatakan perannya.
2. Asy Syeikh Muhammad Arsyad Al-Banjari, beliau pernah menyinggung-menyinggung bahwasanya ajaran wujudiah ini termasuk ajaran bid’ah seperti halnya Jabariah, Qadariyah dan Rafdhiyah.
3. Nuruddin Siddiqi, beliau dalam bukunya ada menyinggung pendapat syeikh Ahmad Shirhindi Al Punjabi bahwasanya selagi sufi itu berada di bawah pengaruh filsafat Ibn Arabi yang telah mempercayai ajaran kesatuan apa yang ada(Imanenisme) dan cenderung untuk menghilangkan perbedaan antara Tuhan dan manusia, sedangkan kaum ulama berada dalam kesempitan paham mengenai hukum yang membawa kepada perdebatan-perdebatan yang tak habis-habisnya mengenai hal-hal yang kecil-kecil maka kedua golongan ini akan kehilangan semangat kesusilaan Islam. Golongan sufi yang seperti ini dikatakan lebih berbahaya daripada golongan yang satunya, sebab seandainya ciptaan itu tak nyata ada, hanya Tuhan sendirilah yang maujud, seperti yang dipertahankan Ibn Arabi maka kebutuhan akan agama dan hukum akan lenyap. Pendapat Syeikh Ahmad ini mungkin ada benarnya apabila kita mau belajar dari peristiwa yang terjadi pada diri tokoh-tokoh aliran wujudiah, antara lain.
1) Al Hallaj di Bagdad
2) Sidi Dzennar(siti jenar) di kerajaan Demak
3) Hamzah al Fansuri di kerajaan Aceh
4) Abd. Hamid Abulung di kerajaan Banjar (Martapura).
D. BEBERAPA PERISTIWA TRAGIS YANG DIALAMI TOKOH-TOKOH ALIRAN WUJUDIAH
1. Al Hallaj : Sebagai akibat dari perkataannya ini maka ia pun di penjarakan selama tujuh tahun, dan di interogasi selama tujuh bulan untuk dikaji ajaran itu secara mendalam hingga akhirnya dihukum bunuh (disalib di Bagdad tahun 92 M.) karena tidak ada satu ulama pun saat itu yang membelanya. Ibn Arabi sendiri karena pandai mengulas-ulas lidah dan masih banyak pembelanya tidak sampai terbunuh, malah menjadi tokoh kontroversial dan sering didewa-dewakan oleh penganutnya dengan julukan asySyaikh al Akbar.
2. Syeikh Siti Jenar Mulanya beliu termasuk di antara walisongo namun akhirnya terpengaruh dengan ajaran Al Hallaj yang menyimpang dari ajaran Islam yang membahayakan ummat sehingga oleh para wali dijatuhi hukuman mati. Di samping itu Sidi Dzennar pernah menyatakan bahwa Syahadat, Shalat, Puasa, Zakat dan haji ke Mekah semuanya itu adalah palsu, tidak boleh diikuti semua itu adalah kebohongan, untuk menipu semua mahluk dengan janji surga besok. Orang bodoh pada mengikuti wali yang nyata sama-sama tidak mengerti lain halnya dengan aku Sidi Dzennar. Hal ini menyebabkan berangkatnya Sunan Kali Jaga, Sunan Kudus, Sunan Bonang dan Sunan Modang untuk berhadapan langsung dengan Sidi Dzennar, Sunan Kali Jaga berkata “Saya akan bicara singkat saja, tuan Lemah Abang(Sidi Dzennar) silakan pilih apakah memilih hidup atau kah memilih mati, Sidi Dzennar menjawab “Saya memilih mati(yang berarti hidup). Tidak lama setelah ini (tahun 140 caka) Sidi Dzennar pun dihukum mati jenazahnya dibawa ke Demak dan dikebumikan secara rahasia.
Artikel keren lainnya:
Belum ada tanggapan untuk "Aliran Tasawuf Wujudiah (Eksistensialisme)"
Posting Komentar