I. Pendahuluan
Perjalanan sejarah kesusastraan arab dalam priodesasinya telah mengalami kematangan dari masa kemasa; pada masa Jahili, masa Islam, masa dinasati Muawiyah dan Abasiah, masa dinasti Ustmani, dan masa modern hingga saat ini. Dalam setiap periode perkembangan tersebut, sastra Arab mengalami inovasi yang membedakannya dengan periode lainnya. Pada masa abbasiah merupakan masa ke emasan sastra arab, dan mengalami jumudan saat masa Turki Usmani sampai Pada fase nahdah Permulaan fase modern dalam sejarah sastra Arab dimulai sejak pemerintahan Muhammad Ali di Mesir setelah akat kakinya kolonialisasi Francis tahun 1801.
Dalam setiap periode perkembangan tersebut, sastra Arab mengalami inovasi yang membedakannya dengan periode lainnya. Pada fase modern khususnya, ternyata sastra Arab memiliki berbagai aliran sastra yang muncul silih berganti, baik karena motivasi kritikan terhadap model sastra yang muncul sebelumnya maupun karena untuk menyempurnakan aliran lainnya yang muncul dalam kurun waktu yang sama. Aliran-aliran sastra Arab yang muncul di masa modern tersebut adalah al-Muhāfizūn (Neo-Klasik), Diwān, Apollo, Romantisme. Simbolisme dan yang terakhir adalah Hadītsah (modern). Salah satu aliran yang muncul di masa modern yang perlu mendapat perhatian dan memiliki arti penting dalam khazanah sastra Arab modern, terutama di Mesir, adalah Aliran Diwān atau Madrasah Diwān.
Pada tulisan ini merupakan sambungan ataupun kelanjutan dari tulisan saya yang berjudul aliran sastra arab modern Neoklasik. Dimana pada tulisan ini penulis memaparkan tentang perkembangan selanjutnya dari kesusastraan arab dengan ditandai dengan munculnya aliran romantik, dalam prosesnya itu melahirkan beberapa aliran seperti yang di paparkan diatas, namun yang akan dipaparkan dan sekup kajian kali ini tentang aliran sastra arab modern Madarasah diwan.
II. Aliran Sastra Arab Modern; Madrasah Diwan
Dalam proses pembentukannya madrasah diwan lahir karena adanya keterpengaruhan aliran neoklasik (1900-1910), namun demikian istilah diwan baru dikenal dari ad-Diwān Kitāb fī al-Adab wa an-Naqd (1921). Penamaan aliran sastra Arab modern ini dengan ‘Diwan’ kemungkinan berkaitan dengan judul pamflet yang menjadi media kemunculannya secara luas di kalangan sastrawan Arab sebagaimana di atas. Di samping itu, penamaan ini kemungkinan juga karena adanya kumpulan karya para pengusungnya yang disatukan dalam satu buku yang biasanya disebut Diwān atau antologi. Tokoh pengusung dan pendiri aliran ini adalah Abd al-Rahman Syukri(1886-1949), Abbas Mahmūd al-’Aqqād (1889-1964)dan Ibrahim Abd al-Qadir al-Māzini (1889-1949).
Secara global Aliran ini lahir karena ketidakpuasan mereka kepada aliran neoklasik yang masih terpengaruh terhadap gaya puisi klasik dan gaya bahasanya masih terikat terhadap wazan dan qafiyahnya sehingga kaku dan bentuk aliran neoklasik yang masih tradisional. Maka bentuk autokritik aliran sastra arab modern ini adalah pada aspek bahasa dan bentuk yang digunakan pendahulunya yang dinilai sangat tradisonal. Kemudian, kritikan kedua yang dialamatkan kepada kelompok aliran Neo-Klasik adalah karena aliran pertama ini dalam perkembangan sastra Arab modern dinilai banyak mengumpulkan tauriyah, kināyah dan jinās yang kemudiaan di terbitkan pada sebuah buku yang berjudul al-Fusul (1922). Menurut Adonis Aliran ini muncul dikarnakan adanya penolakan duplikasi (Rafd al-Namudhijiyyah) puisi, dan untuk mewujudkan puisi yang sesuai berdasarkan dengan lokus dan tempos (konseptual) baik itu sifatnya sinkronik maupun diakronik.
Melihat dari aspek tokoh kepenyairan aliran ini ada yang menarik yakni dari dua penyair pertama Syukri dan al-Mazini adalah alumni dari sekolah mualimin, sedangkan Aqqad meski bukan dari alumni sekolah yang sama akan tetapi ia mahir dan menguasai bahasa inggris dengan baik dan karya-karya penyair berbakat juga karya para kritikus handal. Terlepas dari ketiga tokoh mana yang menandai lahirnya aliran diwan ini, mereka semua adalah pelita cahaya lilin-lilin kecil yang memberikan warna dan cahaya baru dalam dunia sastra arab modern. Dari presfektif puisi al-Mazini misalnya kita bisa melihat nuansa emosi subjektif, pesimistis dalam literatur khzanah sastra inggris dan francis disebut sebagai nuansa romantisme. Sedangkan dalam puisi Aqqad kita bisa melihat nuansa pemikiran filosofis yang mendalam, dan terakhir dalam puisinya Syukri terlihat adanya penggabungan dari dua karya sastra tersebut. Syukri dalam aliran diwan (1909) “Dau ‘al Fajr” telah mengusung tema dan style baru. Dalam setiap dua larik puisinya, rimanya berubah, dan dia berusaha menggantikannya dengan menggunakan bentuk puisi baru dalam khazanah kesusastraan barat disebut “blank verse” atau puisi mursal yaitu puisi yang hanya terikat pada metrik bukan rima, sehingga tiap larik mempunyai rimanya masing-masing.
III. Karakteristik Karya Sastra dan Kritiknya.
Dalam pendahuluaan Diwan jilid pertama aliran ini bertujuaan untuk menjelaskan persoalan-persoalan baru dalam puisi, kritik dan tulisan sastra dengan menarik garis demegrasi yang tegas dan nyata antara priode klasik dan modern tanpa memberi sedikitpun bagi kedua priode untuk bertemu. Kelompok aliran ini bercirikan humanis, nasionalis bagi Mesir dan Arabis dimana secara sosial politik ia menolak adanya pemerintahan atau kekuasaan tirani yang membelenggu dan mendukung pemerintahan yang demokratis. Secara kultur aliran ini memilih budaya barat dan secara metodologis, ia memilih metode rasional.
Kelompok aliran diwan dikatakan humanis karena ia menerjemahkan budaya manusia dengan apa adanya, natural, melepas dari tradisi mekanik yang mengikat, disatu sisi merupakan buah dari luka (tragedi) kemanusiaan secara global dan fenomena perasaan yang menyatu antar jiwa-jiwa manusia. Adapun nasionalis bagi mesir karena para tokoh pendirinya orang-orang yang terpengaruh oleh budaya kehidupan Mesir. Arabis karena medium bahasa yang digunakan adalah bahasa arab.
Aliran ini berkonsisten melakukan kritik terhadap dua pilar utama yakni kritik (teoritis dan praktis) dan puisi invenitif. Dalam aspek kritik, mereka mengajukan banyak pemikiran baru antara lain yaitu ; esensi dan hal-hal yang terkait dengan puisi kejujuran ataupun kebenaran artistik dan lainnya, struktur estetika dalam puisi, dan beragam anasirnya seperti bahasa, imajinasi, musikalitas, tone, presfektif pandangan dan tema-tema ataupun ide-ide baru yang terkait dengannya
Pada aliran diwan ini banyak sekali bentuk autokritik yang ditunjukan penyair sezamannya atapun pendahulu mereka, terlebih lagi bentuk kritikan-kritikan tajam banyak munghujam kepada tokoh tokoh aliran neo-klasik seperti kritikan syukri terhadap shawqi dan hapidz yang mengarah pada karya-karya mereka hanya terbatas pada bentuk perbandingan (maqsurun ‘ala’l-Tasbihat). Pada tahun 1914 Al-Mazini kembali menerbitkan artikelnya yang mengeritik hafidz sekitar tradisinalisme dan taklid (imitasi)nya. Sedangakan Aqqad adalah penyair pertama yang mengatakan bahwa dilihat dari aspek topiknya aliran sastra arab neoklasik hanyalah superfisial
Asumsi aliran madarasah diwan ini mengatakan bahwasanya puisi yang nyata harus bisa mencerminkan realitas kehidupan yang ada (al-Hayali), masa sekarang dan benar benar meng ekspresikan pemikiran dan perasaannya. Oleh karena itu syuri berkata: “alHayal Khair al-Shir’i dan ‘al ya Tair al-Firdausiina al-Shi’r al-Wijdan; kata ataupun kalimat ini merupakan moto kelompok diwan.
Dalam ilmu pengetahuan dan sastra pasti adanya aspek saling pengaruh dan mempengaruhi (adab al-Muqaran). Mengenai itu Syukri berpendapat terutama tentang pengaruh dari luar bahwa penyair arab dianjurkan membaca literatur sastra dan kebudayaan Inggris, Francis dan banyak sastra lainnya, supaya pengetahuaan dan kebudayaan kita menjadi kuat dan mapan dalam hal ini mereka penyair arab seharusnya mempunyai pengetahuaan, rasa, dan itikad untuk memperbaharui makna gaya bahasa puisi, melakukan kreatifitas dan inovasi baru dalam artiaan tidak untuk menjiplak.
Dalam jilid dua Diwan yang berisikan karya Syawqi tentang ratapan bagi Mustafa Kamil dapat dicatat ada empat fenomena umum dalam puisi Syawqi:
1. At-Tafakkuk, yakni karya sastra yang dihasilkan para tokoh Neo-Klasik dinilai tidak memiliki kesatuan tema. puisi merupakan kumpulan ungkapan yang terdiri dari bait-bait yang terpisah antara satu dan yang lainnya tanpa pemakaiaan wazan dan qafiyyah, puisi dalam pandangan ini bukanlah merupakan kesatuaan makna. Kesatuaan ini tidak terwujud dalam puisi kecuali apabila kesatuaan tersebut merupakan suatu karya seni sejati yang sempurna menggambarkan perasaan dan keinginan nyata didalamnya sebagaimana yang digambarkan dalam teater yang terdapat kru dan lukisan dengan unsur-unsur musiknya dan juga liriknya. Tanpa itu semua puisi hanyalah kata biasa yang hambar dan tidak memiliki makna juga tidak banyak keinginan yang hendak diraih ataupun perasaan sempurna dalam kehidupan.
2. Al-Ihālah, yaitu upaya yang dilakukan Neo-Klasik justru membuat makna puisi menjadi rusak karena berisikan sesuatu yang ngelantur, bombastis, tidak realistis dan tidak masuk akal atau irasional.
3. At-Taqlīd, yaitu karya-karya yang dihasilkan aliran Neo-Klasik tidak lebih dari pengulangan apa yang sudah dilakukan oleh para sastrawan sebelumnya dengan cara membolak-balikkan kata dan makna pengulangan ini seperti iqtibas dan sirqoh.
4. Menyukai eksistensi (al-I’rad) bukan substansi. Para pengusung aliran Neo-Klasik dinilai memiliki kecenderungan yang lebih mementingkan eksistensi (al-I’rad) dari pada substansi karya sastra yang dihasilkan.
Aqqad menolak bahwa banyak anggapan penyair-penyair pada masanya dan sesudahnya telah banyak terpengaruh dengan Shawqi dan para pengikutnya. Generasi yang hidup setelah Shawqi jarang terpengaruh dengannya, dari multi aspek termasuk dari segi gaya bahasa dan maknanya. Bisa dikatakan demikiaan karena dalam masa Shawqi metode yang digunakan hanyalah membaca, mempelajari dan mengekspresikan gaya bahasa (uslub/style) para pendahulunya saja dan generasi yang hidup setelah Shawqi banyak yang bermunculan dari pada aliran baru. Aliran tersebut adalah aliran yang gandrung dengan pembacaan kritik terhadap karya fiksi dan ilmiah inggris, khususnya bahasa francis , spanyol dan yunani kuno pada umumnya. Tokoh kritikus sastra itu adalah Wiliam Hazlit yaitu sastrawan inggris yang menunjukan bagaimana mengungkapkan makna puisi dan seni disamping menunjukan perbandingan dalam penulisan karya ilmiah
Melihat paparan diatas, madrasah diwan banyak sekali melontarkan bentuk auto kritik beragam yang ditujukan kepada aliran neoklasik , bentuk kritik yang dibangun madarasah diwan ini sebenarnya suatu upaya untuk membangun kesusastraan arab menjadi lebih baik dan mapan dengan memadukan sastra arab klasik dengan inovasi dan kreatifitas dari luar terutama sastra barat, karena menurut mereka sastra yang baik harus mencerminkan realitas kekinian yang ada bukan tiruan ataupun imitasi dari produk lama yang maknanya hambar dan kosong. para pelopor aliran Diwān juga menjelaskan persoalan-persoalan baru yang terdapat dalam puisi, kritik, prosa, esai dan tulisan sastra lainnya. Hal ini dilakukan dengan menggunakan dikotomi keilmuan sastra yang menjadi jurang pemisah antara zaman sastra Arab klasik dan sastra Arab modern sehingga keduanya tidak memungkinkan untuk menduduki benang merahnya.
Sebagai salah satu aliran sastra Arab modern, aliran madrasah Diwān memiliki karakteristik yang sangat melekat pada mereka. Adapun karakteristik yang dapat membedakannya dengan kelompok sastra Arab modern lainnya adalah menolak kesatuan bait dan memberi penekanan pada kesatuan organis puisi, mempertahankan kejelasan, kesederhanaan dan keindahan bahasa puisi yang tenang, mengambil segala macam sumber untuk memperluas dan memperdalam persepsi dan sensitifitas rasa penyair. Di samping itu, karakteristik lainnya dari para pengusung aliran Diwān adalah berkaitan dengan tema-tema yang diangkat dalam karya-karya mereka. Tidak seperti aliran sebelumnya, tema-tema yang diangkat Diwān berkaitan persoalan-persoalan kontemporer seperti humanisme, nasionalisme, Arabisme, dan karya-karya yang dihasilkannya banyak dipengaruhi oleh romantisme dan model kritik Inggris seperti yang telah dipaparkan penulis diatas.
Dengan beragam kritikan yang dilontarkannya terhadap objek yang menjadi faktor kemunculannya, bukan berarti aliran Diwān terlepas dari kritikan pihak lainnya. Karena dalam perkembangan sastra Arab modern aliran ini lebih menonjolkan aspek kritik dan sanggahannya terhadap Neo-Klasik yang muncul terlebih dahulu, maka sesungguhnya lebih tepat dikatakan bahwa Diwān ini adalah aliran kritik. Atau dalam ungkapan lain dapat dikatakan bahwa para pengusung aliran ini lebih tepat disebut sebagai kritikus dari pada sebagai sastrawan atau penyair dalam upaya mereka memberi perubahan yang berarti bagi perkembangan apresiasi sastra. Hal ini karena ternyata terjadi perbedaan yang signifikan dari gagasan kesusasteraan mereka yang merupakan kritikan terhadap Neo-Klasik dengan realitas bahwa karya-karya sastra yang mereka hasilkan bernilai biasa-biasa saja.
Aliran ini tidak berlangsung lama dalam khazanah sastra Arab modern karena para tokoh pelopornya kemudian lebih memilih berkecimpung dengan model-model karya sastra yang lain, seperti novel, drama, makalah, jurnalistik dan kajian-kajian sastra lainnya. Setelah para tokohnya perlahan-lahan mulai meninggalkan aliran ini, maka semakin tidak jelas tujuan sesungguhnya dari mengemukanya Diwān dalam sastra Arab modern. Kemunculan aliran ini tidak lebih dari hanya keinginan para tokohnya untuk melepaskan diri sistem persyairan Arab yang sudah selama ini, sedangkan hasil karyanya berupa puisi yang mengikuti model terdahulu dengan menambahkan beberapa aspek yang baru di dalamnya.
Sumber Pustaka ;
Brugman, J. 1984. An Introduction to The History of The Modern Arabic Literature in Egypt. Leiden: EJ. Brill.
Tasnimah, Tatik Maryatut. 2000. Fenomena Kritik Sastra Arab. Yogyakarta: Jurnal Fakultas Adab ‘Thaqafiyyat’. Volume I No. 01, Juli-Desember 2000.
Syauky Dhaif. 1957. Al Adab Al-Arabi Al Mu’asir Fi Misra; dar al Ma’arif
Belum ada tanggapan untuk "Aliran Sastra Arab Modern; Madrasah Diwan"
Posting Komentar