I. PENDAHULUAN
Kapitalisme merupakan momok menakutkan yang menggrogoti stiap segi kehidupan negara ini, hampir semua aspek kehidupan bernegara seperti ekonomi, politik, sosial budaya, pendidikan bangsa ini tidak terlepas dari kacamata kapitalisme barat yang menintai, menjadi benalu dan menggrogoti kesejahtraan bangsa ini. Dalam aspek ekonomi indonesia dilanda krisis bekepanjangan yang tiada akhir, IMF dan World Bank sebagai antek kapitalis menjajikan kesejahtraan kepada negara yang mengalami krisis global dengan memberikan modal pinjaman dengan bunga tinggi yang akhirnya kesengsaraan dan kemiskinan menjadi harga mati karena negara tidak mampu membayar hutang dan bunganya. dalam aspek pendidikan terjadi klasifikasi dan kelas-kelas yang memisahkan sikaya dan simiskin terbukti dengan adanya sekolah tarap internasional yang menjadi bukti yang kongkrit bahwa orang tertentulah yang bisa mengenyam pendidikan dinegara ini. Dalam konteks pemerintahan saat ini dalam pidatonya di depan DPR, SBY mengatakan bahwa kemiskinan berkurang tetapi realitasnya tidak seperti itu, memamng sangat aneh pemerintah mengukur kemiskinan hanya berdasarkan statistik data tidak melihatnya secara komprehensif disamping itu pemerintah solah lari dan lepas tanggung jawab dalam mencerdaskan bangsa ini, dengan menyerahkan kebijakan pengelolaannya keda pihak kampus yang otomatis biaya pendidikan menjadi mahal dan rakyatlah yang menderita akan kebijakan itu.
Maka sudah jelaslah sebagai kader hmi kita harus sadar akan hegemoni kapitalis yang menguasai negri ini, lebih dari itu kita harus mempunya pormulasi yang jelas dalam menghadapi hegemoni kapitalis dan memberikan solusi yang konkret dalam menghadapinya. Sebenarnya kita sudah mempunya pormulasi yang baik dengan menjadikan quraan dan sunah sebagai jalan kita dan menciptakan intelektual muslim progresif sesuai kualitas 5 insan cita. Dengan aspek tersebut secara konsisten dapat menciptakan intelektual muslim yang mempunya iman, ilmu dan amal yang kokoh sehingga menciptakan negara baldatuntayibatun warabun gafur.
Sebagai kader sudah selayaknyalah jiwa dan raga kita ditujukan kepada kemajuaan negara ini, aspek kemiskinan, mahalnya biaya pendidikan, korupsi menjadi sebuah polemik tersendiri yang hingga saat ini negara tidak bisa menyelsaikannya, maka dari itu peran dan fungsi seorang kader dalam hal ini harus mempunyai konstribusi intelektualitas yang bertitik pangkal kepada keadilan dan kesejahtraan rakyat.
Sejak peristiwa Qabil Iqlima dan habil Labuda putra nabi adam perkelahi merebutkan saudara kandungnya untuk dijadikan istri, maka sejak itulah hingga saat ini berkembang dua kutub idologi kehidupan, yakni islam dan matrealisme. Kutub matrealisme ini berubah menjadi kutub kapitalisme dan kutub sosialisme/komunisme. Kutub-ktub idiologi ini jelas memiliki tingkah laku yang brbeda dalam menggumuli modernisasi. Sehingga dalam melempar bola moderinisasi ke bumi ini pun penampilan kutub kutub idiologipun berlainan. Dalam pendekatannya kedua kutub ini yakni sosialisme dan kapitalisme mencari sebuah pendekatan lain, sebuah metode baru untuk perubahan sosial.
Paradigma modernisasi tidak terlepas dari aspek pembangunan, pertumbuhan ekonomi, diferensial kelembagaan, dan kemajuaan pembanguan bangsa yang satu dan lainnya serta tidak terlepas dari kata-kata ketergantungan, penghisapan, nekolim, pembebasan, kesejahtraan, keadilan dari yang satu dan lainnya. Idiologi kapitalisme indentik dengan semboyan pembangunannya, sedangkan sosialisme identik dengan slogan revolusinya. Yang jelas idiologi kapitalisme dan sosialisme berpremis nilai yang bebas, bebas nilai. Sementara islam memiliki premis nilai tauhid.[1]
Sebagi imbas dari moderinisasi yakni mengedakan perubahan, pembaharuaan atau perbaikan untuk mewujudkan yang modren, maka munculah idiologi kapitalis dan sosialis yang melahirkan tatanan strata sosial baru yang berimbas pada dualime yakni bangsa kaya dan bangsa miskin, keterbelakangan dan berkembang, bangsa pintar dan bodoh, timur dan barat. Tidak hanya itu moderinisasi harus dibayar mahal. Dengan harga tinggi yakni berupa human cost dan social cost, berupa alienasi, anomi, homolesness, perasaan tidak kerasan dan lainnya sebagaimana kita menyaksikannya. Tidak hanya itu kegagalan modernisasi telah merambah kepada ruksaknaya alam kita dengan adanya pemanasan global, rusaknya lingkungan, sering terjadinya bencana alam dan sebagainya.
Kapitalisme dan sosialisme dalam aplikasinya tidak memberikan sumbangsih yang relevan terhadap perkembangan bangsa ini, kemiskinan, kebodohan, keruksakan akibat kedua idilogi ini sudah riil dan gagal membawa kesejahtran bangsa. semangat moderenisasi yang menciptakan tatanan keadilan hanyalah selogan semata. Adil menurut meraka adalah keuntungan buat mereka sendiri tidak untuk orang lain. Maka dari itulah letak dari probresifitas intelektul kader hmi di uji pada era modern dengan kaum kapitalis dan sosialis sebagai momok yang harus dihadapi. Tampaklah hanyaah islam yang menjadi solusi untuk menghadapi era modern ini, dengan berpegangan kepada al-quran dan sunnahlah sebagai jalan menuju keselamatan.
Idiologi modernisasi islami tertera dalam al-quran dengan jelas, sebgai mana yang dikatakan nabi syuaib dalam alquran surat Hud:ayat, 88 yang artinya;
Aku tidak bermaksud kecuali (mendatangkan) islah/perbaikan/perubahan selama aku masih berkesanggupan; dan tiata taufik bagiku melainkan pertolongan allah; hanya kepada allah aku bertawakal dan hanya kepadanya aku kembali.
Dan dengan penuh ketegasan islam menolak idiologi islah/modernisasi yang palsu seperti yang tertera dalam alquran suta al-baqarah ayat 11 yag artinya
Dan bila dikatakan kepada mereka janganlah kamu melakukan keruksakan/fasd dimuka bumi, mereka menjawab; sesungguhnya kami orang-orang yang mengadakan perbaikan. Ingatlah sesungguhnya mereka itulah yangyang melakukan keruksakan, tetapi mereka tidak sadar.
Sudah jelaslah dalam alquran dijelaskan kata islah ini mempunyai makna moderenisasi kearah yang lebih baik bukan pasad yang merupakan lawan kata dari islah yang mempunyai arti keruksakan. Islam sebgai islah/modernisasi kepada perubahan kebaikan adalah moderenisasi yang sesungguhnya yang membawa keadilan dan kesejahtraan dimuka bumi ini. Muslim adalah modernis/muslih merupan orang yang melakukan perubahan dan kebaikan, ini sesuai dengan ruh islam dab atribut kenabian yang perjuangannya patut diteruskan oleh kader hmi sebagai intelektual muslim. Berbeda dengan modernisasi kapitalis dan sosialis yang membawa fasad/keruksakan dimukabumi ini.
Maka dari itulah perlunya adanya suatu pembaharuan dalam pemikiran intelektualitas kader supaya terciptanya moderinisasi islam secara kaffah. Maka dalam penyesunannya penulis member solusi islam progresif sebagai solusi dalam menghadapi beberapa masalah yang dipaparkan diatas tadi.
II. PEMBAHASAN
1. Definisi Dan Pengertian Islam Progresif
Diskursus mengenai islam progresif di Indonesia adalah tidak asing lagi diketengahkan oleh Para Pemikir intelektual muslim, demi mengkonstruksi nilai-nilai kehidupan sosial masyarakat islam yang lebih mapan, progresif, dan berkesejahteraan. Perkembangan pola pikir manusia senantiasa dinamis mengikuti arah gerak perubahan realitas sosial kemasyarkatan dan keagamaan. Pola pikir manusia yang peka terhadap realitas perubahan sosial merupakan salah satu bentuk kegelisahan untuk mencari solusi-solusi yang mampu membawa suatu kemajuan dan kemandirian dalam menghadapi berbagai pernak pernik realitas sosial kemasyarakan menuju pola pikir masyarakat yang lebih baik dan berwibawa. Dengan demikian apa yang dimaksud dengan istilah progresif.? Salahudin al-Jursyi salah seorang intelektual islam di Negara Tunisia memberikan makna progresif menjadi tiga cakupan makna mendasar.[2]
1. Pemahaman dinamis, bukan statis terhadap realitas , pemikiran , dan masyarakat. Meskipun pada sebagian masyarakat permukaannya tampak tetap, akan tetapi dikedalamannya mengalami perubahan dan pergantian, dalam kafasitas masyarakat itu sendiri sebagai eksistensi hidup yang tunduk pada hukum perubahan .
2. Perkembangan masyarakat terjadi secara linear, deterministic, bergerak kedepan. Dalam setiap periode yang dilaluinya diperlukan kreasi-kreasi baru. Karena semua masyarakat akan maju dengan kekuatan (bukan berarti kekerasan) meskipun terkadang sempat terhenti disebabkan kelemahan dan kemerosotan yang dideritanya, Tindakan pengoreksian terhadap eksperementasi dan pendefinisian keberhasilan yang telah diraih akan menjadikan masyarakat lebih mampu memahami, meninggalkan masa lalunya dan membangun masa depannya yang lebih baik. Masyarakat akan maju dalam tataran sejarah dari masa lalu menuju masa depan ….
3. Perkembangan masyrakat akan tercapai dibawah naungan hukum-hukum sosial. Maka tidak perlu mengharapkan sikap asal jadi, atau kebetulan-kebetulan dan menunggu keajaiban-keajaiban. Ini berarti bahwa gerak fluktuatif masyarakat harus dipahami sebagai sesuatu yang bisa dimengerti dan dikendalikan, bukan sesuatu yang tidak terjangkau dan tidak terkendalikan, sejarah kemajuan akan bisa diciptakan oleh manusia kalau dia memperhatikan karakteristik-karakteristik khusus segala sesuatu yang ada disekitarnya. Sebagaimana semua kehancuran dalam sejarah dengan sendirinya merupakan kehancuran manusia di dalamnya.
Ketiga makna cakupan itu yang dikemukakan oleh Shalahudin al-Jursyi memberikan gambaran serius tentang makna ‘progresif ’ itu sendiri. Meskipun subtansinya tidak jauh berbeda dengan terma-terma lain, seperti “islam Inklusif”,” Islam Transformatif” dan “Islam liberal , istilah “Progresif” merupakan istilah baru dalam kajian islam kontemporer yang digunakan oleh Para akademisi dan aktivis sejak beberapa tahun ini untuk memberikan label kepada pemahaman-pemahaman dan aksi-aksi umat islam yang memperjuangkan penegakan nilai-nilai humanis, seperti pengembangan civil society, demokrasi keadilan, kesetaraan jender, pembelaan terhaadap kaum tertindas dan pluralisme. Sahiron Syamsudin mengutip pendapat Omid Safi mengatakan bahwa aksi islam progresif, merupakan kelanjutan dan kepanjangan dari gerakan Islam Liberal yang muncul sejak kurang lebih seratus lima puluh tahun yang lalu.[3] Namun disisi lain ia muncul sebagai bentuk ungkapan ketidakpuasan terhadap gerakan islam liberal yang lebih menekankan pada kritik-kritik internal terhadap pandangan dan prilaku umat islam yang tidak atau kurang sesuai dengan nilai-nilai humanis. Sementara itu, kritik terhadap modernitas, kolonialisme, dan inperialisme justru tidak mendapatkan perhatian yang cukup dari gerakan islam Liberal.[4]
Demi menghindari pencampuradukkan atau penafsiran yang bukan pada tempat, maka Islam Progresif juga membahas beberapa aspek metodologis yang dikemukakan oleh Shalahudin Jursyi[5]:
1. Istilah ini tidak digunakan dalam pemahamannya yang mutlak, tetapi dibatasi oleh periode atau masa. Maka dari sisi ini , ia merupakan istilah yang nisbi (relatif). Dalam arti, suatu sikap tertentu dalam kondisi sejarah tertentu terhitung sebagai sikap progresif. Namun ketika diterapkan pada realita dalam kondisi sejarah yang berbeda, bisa jadi berubah menjadi sikap mundur.
2. Istilah ini merupakan alat analisis semata, bukan sebagai senjata pencaci makian atau penjelek-jelekan. Semua aktivitas dan pernyataan-pernyataan menjadi milik masyarakat begitu ia keluar dan dirilis, untuk dianalisa dan ditempatkan pada ukuran-ukuran yang ada. Yang diinginkan adalah kejelasan, objektivitas, dan kesungguhan dalam mengkritik.
3. Tidak semua yang baru secara otomatis menjadi symbol progresivitas. Keyakinan segala sesuatu yang baru merupakan symbol kemajuan adalah keyakinan yang naïf. Karena berapa banyak sesuatu yang baru ternyata adalah bencana bagi kemanusiaan dan gerak kemajuan itu sendir. Barat, yang setiap hari menyajikan temuan temuan baru, tidak lantas menjadi symbol kemajuan, karena ‘kesejahteraan ‘ dibangun di atas pengorbanan bangsa-bangsa yang tertindas dan sampai sekarang masih mempunyai hasrat kuat untuk mempertahankan depedensi mereka terhadapnya; menganggap dirinya (Barat) sebagai pusat dan bangsa-bangsa lain sebagai pinggiran. Sebagaimana ilmu di sana berubah menjadi gerak keilmuan demi melayani ideology kapitalis, kekuatan, kekauasaan, dan mempertahankan ketidak imbangan kemampuan demi kepentingan sendiri.
Patut diingat bahwa pengklasifikasian islam menajadi “Islam progresif” dan “Islam kolot” bisa dibenarkan. Meskipun idealnya, harus disadari bahwa islam adalah totalitas yang tidak terbagi-bagi dan harus dipahami secara integral; islam merepsentasikan sebuah proyek kemajuan yang berlansung secara berkesinambungan. Karena islam selalau ada didepan kita; nilai-nilainya adalah nialai-nilai masa depan, sebagaimana tujuan-tujuan yang hendak dicapainya adalah tujuan-tujuan hidup kita, baik di hari ini maupun di hari esok.
Maka sesungguhnya terma progresif dan antonimnya dapat di raih dalam dua pengeriaan redaksional yakni pertama mengaitkannya dengan pemikiran keislaman yang futuristic, sehingga tidak terjadi pencampuran antara islam dengan pemikiran islam. Kedua; pengertiaan ini terpahami kalau kita mengaitkan istilah ini (berikut dan anatominya) dengan kaum muslimin.
2. Intelektual Muslim Progresif
Dalam kehidupan bernegara keberagaman murupakan sebuah keniscayaan, di Indonesia sendiri sebagian besar penduduknya memeluk islam dan terdapat 4 agama lainnya seperti Kristen, ktholik, hindu, budha yang umat beragamanya hidup rukun. Islam progresis merupakan sebuah solusi dalam membina persatuan dan kerukunan umat beragama pada puncaknya, akan tetapi pada aspek historisnya islam progresif merupakan sebuah sungkapan keinginan mendalam akan kesatuan barusan umat yang bagian bagiannya saling melekat dan saling bahu membahu dalam perjuangan; sebuah keingingan logis saat tubuh umat tercerai berai, kehilangan kemampunyaannya, kekuatannya dan kebesarannya, takmampulagi menghadapi musuh mushnya. Persatuaan adalah angan-angan dan tujuanutamanya namun itu semua tidak akan terwujud tanpa aksi kerja yagnyata. Maka konsikuensi logisnya keharmonisan memenuhi kehidupan dunia dan selaras dengan alam semesta.
Dalam historisnya islam progresif merupakan sebuah kritik terhadap aliran-keagamaan atau politik islam yang membuat umat terpecah belah dan terbelenggu dengan ijtihad dan idiologi yang sifatnya temporal. Kenyataan inilah yang memberikan inspirasi terhadap munculnya pemahaman dan aksi Islam Progresif, yang memberikan perhatian yang seimbang antara kritik internal dan kritik eksternal. Kritik internal terhadap tradisi pemikiran sebagian umat Islam yang tidak menitikberatkan pada aspek-aspek kehidupan humanis memposisikan gerakan Islam Progresif pada gerakan modernis, namun pada waktu yang bersamaan ia juga merupakan gerakan “postmodernis”, karena ia juga bersikap kritis terhadap modernitas yang bertentangan dengan nilai-nilai keadilan sejati dan kemanusiaan. Cara pandang, kritis dan aksi Islam Progresif semuanya hendaknya berorientasi kepada kemajuan. Atas dasar inilah ia disebut dengan istilah ‘progresif’. [6]
Pemikir-pemikir muslim progresif pada masa kini tersebar di berbagai negara. Di antara mereka yang bisa disebutkan di sini adalah Abdul Karim Soroush (Iran), Shirin Ebadi (Iran), Muhammad Shahrur (Suriah), Muhammad Habash (Suriah), Muhammad al-Talibi (Tunisia/Perancis), dan Fathullah Gülen (Turki/USA). Soroush berusaha membangun demokrasi di Iran yang disebutnya dengan “demokrasi relijius” yang merupakan respons terhadap sistem politik ala velayat-e faqih. Menurutnya, demokrasi merupakan buah dari pemikiran manusia yang didasarkan atas pemahaman-pemahaman rasional yang memuat nilai keadilan dan konsep-konsep hak asasi manusia. Karena itu, nilai-nilai demokratis harus diejawentahkan oleh umat Islam dalam menjalankan pemerintahan. Sistem politik tirani, baginya, bertentangan dengan hakekat dan martabat kemanusiaan. Lebih lanjut dia menegaskan bahwa demokrasi tidak berarti memisahkan agama dari dunia poltik. Demokrasi justru dapat menjaga eksistensi dan ruang gerak agama. Umat dan lembaga-lembaga keagamaman seharusnya terpanggil untuk terlibat dalam diskursus-diskursus politik, sehingga nilai-nilai relijius dapat mempengaruhi gerak dan langkah manusia dalam berpolitik. Meskipun demikian, pandangan-pandangan keagamaan tidak boleh didikte oleh Negara dan tidak boleh dilaksanakan dengan cara pemaksaan. Nilai-nilai keagaman harus diperjuangkan dan dibawa oleh masyarakat sendiri dalam diskursus-diskursus politik dan sosial. [7]
Shirin Ebadi adalah pemikir dan aktivis kemanusiaan yang selalu memperjuangkan hak-hak asasi manusia, terutama hak-hak kaum wanita dalam berbagai bidang. Perjuangannya ini disemangati oleh pemahaman Islam yang progresif. Dia termasuk orang yang gigih menolak prilaku diskriminatif yang diatasnamakan agama, sebagaimana yang terjadi di negaranya. Pada saat dia menerima nobel perdamaian pada tanggal 10 Desember 2003, dia mengatakan: “Diskriminasi terhadap kaum wanita tidak mempunyai dasar di dalam Alquran.” Diperlakukannya kaum wanita saat ini secara tidak adil di banyak negara Islam tidaklah didasarkan atas ajaran Alquran, melainkan bahwa sampai saat ini penafsiran Alquran didominasi oleh kaum lelaki yang hanya ingin mengambil keuntungan darinya. Dia menegaskan: “Islam tidak mempunyai hubungan sama sekali dengan penindasan terhadap kaum wanita. Islam mengandung keyakinan akan keadilan dan persamaan.” Ebadi juga mengatakan bahwa Islam tidak bertentangan dengan hak-hak asasi manusia dan demokrasi. Pembelaannya terhadap hak-hak asasi manusia mendorongnya untuk selalu bersikap kritis, bukan hanya terhadap kebijakan-kebijakan negara-negara Islam, tetapi juga terhadap prilaku politik dalam dan luar negeri negara-negara Barat. Dia tidak segan-segan menentang kebijakan politik luar negeri Amerika Serikat yang dipandangnya menodai nilai-nilai kemanusiaan. [8]
Perjuangan atas hak-hak asasi manusia dan pemikiran-pemikiran progresif lainnya juga dikemukakan oleh Muhammad Shahrur melalui karya-karyanya. Karyanya Mashru‘ Mithaq al-‘Amal al-Islami (1999) memuat prinsip-prinsip perjuangan umat Islam di masa sekarang ini, yang meliputi kebebasan berkehendak dan bertindak, pluralitas agama dan demokrasi. Semua ini merupakan hasil penafsirannya terhadap ayat-ayat Alquran dengan memperhatikan perkembangan ilmu dan pemikiran manusia kontemporer. (Shahrur 1999). Shahrur juga berusaha secara radikal membebaskan umat Islam dari keterkungkungannya oleh tradisi lama yang menurutnya tidak lagi sesuai dengan perkembangan zaman. Baginya, umat Islam harus membangun tradisi keagamaan baru dengan cara menafsirkan ulang teks-teks keagamaan, terutama teks-teks yang berkaitan dengan aspek-aspek muamalah.
Muhammad al-Habash, seorang agamawan dan politisi Suriah, memperjuangkan pembumian gagagasan progresif, baik melalui jalur politik di parlemen Syria maupun dengan media tulis. Dia menekankan perlunya pemahaman keislaman yang moderat, sehingga umat Islam bisa memerankan perannya di dunia internasional secara baik. Ide tentang unity of mankind (persatuan manusia) dengan berbagai macam keberagaman dan perbedaannya, gagasan demokrasi yang bernafaskan Islam dan ide anti-kekerasan dikumandangkan oleh direktur Islamic Studies Centre tersebut. Tentang unity of mankind al-Habash mengatakan secara tegas, “Semua manusia itu milik keluarga yang satu, yakni ‘keluarga Tuhan’”. Keyakinan ini mengarah pada pemahaman bahwa persaudaraan dan sikap saling memahami bukan hanya diterapkan antar umat yang seagama, melainkan juga antar umat-umat yang berbeda agama. Hal ini, menurutnya, merupakan syarat terciptanya prilaku demokratis dalam bidang politik khususnya dan prilaku sosial pada umumnya. Atas dasar inilah, dia menolak tindakan-tindakan kekerasan yang dilakukan oleh kelompok fundamentalis yang menurutnya hanya satu persen dari jumlah penduduk dunia itu.[9] Selain itu, dia juga memperjuangkan hak-hak kaum wanita. Untuk tujuan ini dia dalam bukunya al-Mar’ah bayna al-Shari‘ah wa-l-Hayah menafsirkan ulang ayat-ayat Alquran tentang kepimimpinan, kesetaraan jender, poligami dan warisan. Di dalam buku ini dia juga mencoba mengangkat hadis-hadis Nabi yang menerangkan peran-peran kaum wanita pada masa sahabat dalam berbagai bidang, seperti politik, pendidikan dan ekonomi. Semua ini menunnjukkan bahwa betapa besar Islam pada zaman Nabi memberikan posisi terhormat kepada kaum wanita.
Ide tentang unity of mankind juga dikemukakan oleh pemikir Tunisia yang lama hidup di Perancis, yakni Muhammd al-Talibi, dalam bukunya ‘Iyal Allah (Keluarga Allah). Di sini dia menegaskan seharusnya umat Islam, Kristen dan Yahudi (dan juga umat-umat yang lain) bisa hidup berdampingan dan saling membantu dalam kehidupan politik, ekonomi dan sosial, karena mereka pada hakekatnya berada dalam satu keluarga, yakni “keluarga besar Tuhan”. Pandangan ini merupakan reaksi terhadap kenyataan hidup bahwa mereka saling mencurigai, paling tidak hingga saat ini. Jika kita mendapatkan sebagian ajaran Kitab Suci yang tampak bernuansa kekerasan dan bertentangan sikap toleran dan santun, maka, menurutnya, perlu ditafsirkan ulang secara histotis dan antropologis. Dalam hal ini dia mengangkat kembali satu bentuk penafsiran teks yang lebih menekankan pada perlunya memahami pesan-pesan moral dari teks keagaamaan, di luar makna literalnya. Pendekatan ini disebutnya dengan qira’a maqasidiya (pembacaan yang menekankan perhatian pada tujuan-tujuan inti teks). [10]
Beberapa pemikiran yang disebutkan di atas hanya beberapa contoh pandangan progresif. Meskipun terdapat perbedaan sisi penekanan, pemikiran progresif memiliki kesamaan dalam hal memperjuangkan nilai-nilai humanis, termasuk di dalamnya keadilan, kesamaan, kebebasan yang bertanggungjawab, anti-kekerasan dan perhatian pada realitas kehidupan. Selain itu, pemikir-pemikir progresif sepakat dalam hal perlunya penafsiran ulang terhadap teks-teks keagamaan yang tampak bertentangan nilai-nilai humanis tersebut. Untuk membumikan pandangan-pandangan progresif, gerakan Islam Progresif telah dilembagakan dan di-“proklamirkan” untuk pertama kalinya oleh para intelektual dan aktivis Muslim yang hidup di Amerika Utara pada tanggal 15 November 2004 dengan nama Progressive Muslim Union (PMU; Persatuan Muslim Progresif). Mereka yang tergabung dalam organisasi ini memiliki keahlian keilmuan yang beragam. Di Asia Tenggara organisasi semacam ini belum ada, namun mereka yang mempunyai interes yang sama telah saling berkomunikasi lewat diskusi, seminar dan interaksi melalui mailing list.
3. Perkembangannya di Indonesia
Di Indonesia pandangan dan aksi humanis dari umat Islam pada dasarnya sudah lama dikemukakan dan diperjuangkan. Penolakan sebagian besar kyai NU, juga tokoh-tokoh Islam dari organisasi-organisasi yang lain, sejak tahun 1945 hingga sekarang untuk menjadikan Indonesia sebagai negara Islam merupakan satu bentuk pemahaman keagamaan dan aksi humanis yang mempertimbangkan kenyataan pluralitas agama di Indonesia. Bahkan, jauh sebelum itu, pendekatan inklusif Sunan Kalijaga, seorang wali di Jawa, dalam menyebarkan ajaran-ajaran Islam di Jawa Tengah dan perjuangannya membela rakyat kecil bisa dikatakan sebagai cikal bakal gagasan dan aksi keislaman yang bernuansa humanis dan berorientasi ke depan pada masanya di Indonesia. Pada tahun 70-an dan 80-an gagasan-gagasan progresif dalam arti yang luas juga telah dikemukakan oleh intelektual-intelektual Indonesia, seperti Nurcholis Madjid dan K.H. Abdurrahman Wahid (Gus Dur). Pemikiran dan aksi pembelaan terhadap rakyat kecil dan kaum tertindas bahkan hingga saat ini masih tetap dilakukan dan diperjuangkan oleh Gus Dur dan cak Nur secara konsisten.
Pada tahun 2004 terdapat diskusi kecil antara Syafi’i Anwar, M. Nur Ichwan dan Zuly Qodir tentang prospek Islam Progresif. Diskusi ini dipublikasikan di Harian Kedaulatan Rakyat. Anwar dalam makalahnya menulis bahwa gagasan-gagasan Islam Progresif lahir di Malaysia. Sebagaimana Farish Noor, seorang intelektual muda berkebangsaan Malaysia, Anwar juga berpendapat bahwa gagasan-gagasan tersebut sampai saat ini belum membumi, dalam arti bahwa hanya populer di kalangan menengah ke atas, tapi belum diserap secara massif oleh masyarakat luas. Meskipun demikian, dia optimis bahwa gagasan-gagasan Islam Progresif suatu saat akan diterima oleh masyarakat banyak, dengan melihat kenyataan bahwa sebagian umat Islam adalah umat yang moderat. [11] Tentang Malaysia sebagai negara kelahiran gerakan Islam Progresif Ichwan tidak sepakat dengan Anwar. Dalam hal ini Ichwan beragumentasi bahwa sebelum berkembang di Malaysia gagasan-gagasan dan aksi-aksi progresif telah muncul di beberapa negara. [12] Zuly Qodir berpendapat bahwa agar cara pandang progresif ini bisa membumi, agen-agen progresif harus berusaha dan mampu terjun langsung ke masyarakat untuk mengatasi problem-problem riil yang mereka hadapi, sehingga manfaat suatu gagasan dapat dirasakan langsung oleh mereka. Pendapat ini memang baik, tapi tidak mudah diterapkan, karena selama masyarakat belum bisa menerima pandangan-pandangan progresif, maka selama itu pula mereka mungkin tidak berkenan untuk melibatkan agen-agen progresif untuk turut menyelesaikan problem-problem sosial, ekonomi dan keagamaan yang mereka hadapi. Penulis berpendapat bahwa dalam rangka membumikan cara pandang dan aksi progresif paling tidak ada dua hal yang harus dilakukan.
Pertama, menyampaikan dakwah Islam progresif secara efektif. Dalam hal ini, kita harus terlebih dahulu mengenali elemen-elemen sosial yang ada di masyarakat kita sampai saat ini, yakni (1) pemimpin-pemimpin formal, (2) tokoh-tokoh masyarakat nonformal dan (3) anggota masyarakat pada umumnya. Pemimpin-pemimpin formal yang dimaksud di sini adalah orang-orang yang mempunyai kekuasaan untuk mengambil keputusan formal dalam masyarakat, seperti kepala dan staf pemerintahan, kepala dan anggota dewan, dan partai-partai politik. Sementara tokoh-tokoh masyarakat nonformal adalah mereka yang dipandang mempunyai pengaruh di sebuah masyarakat, meskipun mereka tidak mempunyai jabatan pemerintahan ataupun politik tertentu, seperti kyai, ustadz, kepala dukuh, guru dll. Kita tahu bahwa dua elemen tersebut mempunyai pengaruh yang sangat signifikan dalam masyarakat. Karena itu, gagasan-gagasan progresif sebaiknya dikomunikasikan kepada kedua elemen tersebut secara serius dan efektif, dengan tujuan bahwa kedua elemen tersebut pada suatu saat dapat membantu menyampaikan gagasan-gagasan tersebut kepada anggota masyarakat pada umumnya. Namun, tentunya hal yang harus dilakukan adalah bagaimana kedua segmen sosial tersebut dapat meyakini kebenaran gagasan-gagasan progresif. Dengan cara ini, gagasan-gagasan progresif akan lebih visible membumi dalam masyarakat. Salah satu contoh klasik yang bisa dikemukakan adalah keberhasilan memperjuangkan Pancasila sebagai dasar negara Republik Indonesia.
Sejak tahun 1945 hingga sekarang mayoritas pemimpin formal dan nonformal dalam masyarakat melihat fakta pluralitas bangsa Indonesia, baik dari segi agama, etnis, bahasa dan lain-lain. Fakta ini dipandang oleh mereka sebagai alasan diterimanya dan dipertahankannya Pancasila sebagai dasar negara untuk tetap memelihara persatuan dan kesatuan bangsa. Sikap inklusif dan toleran kaum Muslim Indonesia dalam hal penetapan dasar negara dengan tidak memaksakan kehendak menetapkan Syariat Islam sebagai dasar negara merupakan sikap progresif yang sudah barang tentu tidak terlepas dari peran para pemimpin dan tokoh umat Islam.
Kedua, menumbuhkan rasa kebersamaan antar sesama pemikir dan aktivis progresif dan antara mereka dan masayarakat secara luas. Rasa kebersamaan (Zugehörigkeitsgefühl), menurut Michael Hampe, merupakan salah satu prasyarat bagi eksistensinya setiap komunitas, termasuk komunitas keagamaan. “Rasa ke-kami-an” (“wir-Gefühl”) merupakan fitrah dan kebutuhan setiap manusia: “Kebutuhan untuk bergabung ke dalam suatu kelompok dengan tujuan mengembangkan suatu identitas kelompok tertentu dalam bentuk ‘rasa ke-kami-an’ dapat diarahkan oleh manusia untuk ‘mengabdikan dirinya’ kepada suatu komunitas keagamaan.” Rasa solidaritas antar agen-agen progresif dalam konteks ini tidak harus direalisasikan dalam bentuk pelembagaan Islam Progresif yang menghimpun seluruh komponen dalam satu wadah tertentu. Sebaliknya, agen-agen progresif bisa saja bertebaran di berbagai organisasi keagaaman yang sudah mapan di Indonesia, seperti NU dan Muhammadiyah, atau di lembaga-lembaga swadaya masyarakat, seperti Fahmina di Cirebon dan Nawesea di Yogyakarta. Secara prinsipil rasa solidaritas tersebut diwujudkan dalam bentuk saling memberikan perangkat-perangkat argumentatif untuk memperkuat pesan-pesan progresif. Namun, rasa solidaritas internal ini tidaklah cukup untuk membumikan gagasan-gagasan progresif ke dalam masyarakat. Atas dasar itu, rasa solidaritas juga harus tercipta antara pemikir dan aktivis progresif dan masyarakat pada umumnya dengan cara turut mengatasi problem ketidakadilan, penindasan, pelecehan dan lain-lain.
III. KESIMPULAN
Islam progresif merupakan sebuah wacana tentang solusi dari problematika yang rumit untuk menyatukan visi dari keberagaman yang ada, yang awalnya bermula dari gerakan-gerakan islam, idologi arab sampai merambah dalam duni polotik dan strata sosial masyarakat muslim, terutama di Indonesia. Dalam penyebaran dan aplikasi islam progresif mmpunya peran penting terhadap kemajuan umat secara kaffah diantaranya, eksperimen islam progresif ini telah memperkaya pemikiran para pelakunya karena telah mengeluarkan mereka dari pertentangan sekterian, politik dan fanatisme. islam progresif menjadi cikal bakal munculnya gerakan HAM di dunia arab yang mempunyai relevansinya dengan gerakan dan pemikirannya. Disamping itu islam progresif mempunyai perenan penting terhadap berkembangnya paham demokrasi diberbagai Negara arab hingga sampai ke Indonesia dan terakhir yang lebih menarik bahwa islam progresif tidak hanya dijadikan alat pmersatu bagi gerakan islam, lembaga islam dan idiologinya sekarang semakin meluas penyabarannya kendati belum optimal merambah kebidak sosial, ekonomi, politik dan budaya.
DAFTAR PUSTAKA
Anwar, Syafi’i. “Tantangan dan Peluang Islam Progresif di Indonesia.” Kedaulatan Rakyat 08
Oktober 2004.
Ahmad M. Saefudin. HMI Menjawab Tantangan Jaman, Pt Gunung Kalbu. Jakarta, 1990
Al-Habash, Muhammad. Al-Mar’a bayna l-Shari‘a wa-l-Hayat. Damaskus: Dar al-Tajdid,
2001.
al-Jursyi, Shalahudin. membumikan islam progresif (terjemahan M. Aunul Abied Shah), Jakarta: Paramadina, 2004
Hampe, Michael. “Gottes Staat oder Säkularisation.” Dalam Rotraud Wielandt dkk. (editor).
Religiöses Bekenntnis und politisches Interesse. Bamberg: Universität-Verlag, 2003.
Helberg, Kristin. “Portrait Muhammad Habash: A Turkish Model for Syria.” Dalam
Ichwan, Moch. Nur. “Menyibak Akar Islam Progresif.” Kedaulatan Rakyat 09 Oktober 2004.
Noor, Farish A. Islam Progresif: Peluang, Tantangan, das Masa Depannya di Asia Tenggara.
Terj. Moch. Nur Ichwan dan Imron Rosyadi. Yogyakarta: SAMHA, 2006..
Qodir, Zuly. “Bumi Praksis Baru Islam Progresif.” Kedaulatan Rakyat 11 Oktober 2004.
Al-Talibi, Muhammad. ‘Iyal Allah. Tunis: Saras li-l-nasyr, 1992.
Wahyudi, Yudian. Maqashid Syari’ah dalam Pergumulan Pilitik. Yogyakarta: Nawesea,
2006.
Catatan;
[1] Ahmad M. Saefudin. HMI Menjawab Tantangan Jaman, Pt Gunung Kalbu. Jakarta, 1990 hal 184
[2] Shalahudin al-Jursyi, membumikan islam progresif (terjemahan M. Aunul Abied Shah), Jakarta: Paramadina, 2004
[3] Sahiron Syamsudi, Blog.WordPress. com
[4] Ibid.,
[5] S. Jursyi, Membumikan Islam Progresif (Terjemahan Aunul Abid Shah), (Jakarata: Paramadina,2004), hlm. 141-142.
[6] Lihat Farish A. Noor 2006: 23
[7] Roman Seidel 2006: 82-90
[8] Katajun Amirpur 2006: 190-198.
[9] Lihat al-Habash 2005; Kristin Helberg 2005
[10] Al-Talibi 1992; Ronald L. Nettler 2004: 225-239
[11] Lihat Anwar, 08 Oktober 2004
[12] Lihat Ichwan, 09 Oktober 2004
Belum ada tanggapan untuk "INTELEKTUAL MUSLIM PROGRESIF"
Posting Komentar