Menurut kamus pluralisme diartikan sebagai: “prinsif yang meganggap bahwa orang dari berbagai ras, agama dan pandangan politik dapat hidup berdampingan secara damai dalam masyarakat yang sama ( paul procte, ed, 1980: 863).
Pluralitas berasal dari kata pluralry yakni bahasa inggris yang berarti beraneka ragam atau banyak. Jadi singkatnya pluralitas berorganisasi dalam Hmi yakni realitas historis maupun empiris keaneragaman atau kemajemukan dalam berbagai hal/aspek; suku, teologi islam, ras, golongan merupakan modal dasar dari kemajemukan tapi di pihak lain kemajemukan itu dapat menjadi batu saandungan dan krikil yang tajam bagi kemajuan suatu bangsa dan Negara secara umum dan karena kita disini berbicara dalam konteks ke-Hmian maka penulis kerucutkan menjadi ruang lingkup berorganisasi dalam hmi.
Sedangkan pluralisme berasal dari kata pluralism paham yang memiliki prinsif bahwa keanekaragaman itu jangan menghalangi untuk bisa hidup berdampingan secara damai dalam suatu komunitas yang sama. Maka pluralism disini dapat diartikan sebagai sebuah pandangan yang mendorong bahwa berbagai isme yang ada dalam sutu komunitas harus bisa saling mendukung supaya terjadi sesuatu kesatuan yang utuh terorganisir secara rapih sesuai dengan harapan bersama.
Melihat realitas pluralism berorgnisasi dalam Hmi penulis melihat suatu kondisi objektif yang merupakan suatu manifestasi bahwa kehidupan berorganisasi dalam Hmi ada dua wawasan yang sangat dominan yaitu keislaman dan keindonesiaan. dalam kehidupan modern, merupakam agenda kemanusiaan yang kemudian mendapatkan respon secara arif dan konstruktif. Karena pluralism merupakan kenyataan sosiologis yang tidak tidak bisa dihindari, merupakan bagian dari suatu keniscayaan dan sudah menjadi sunatulah. Terkadang kita salah kaprah dalam menilai perbedaan –perbedaan tersebut misalnya dalam konteks sosial keagamaan (bukan sosial politik), perbedaan antar kaum modernis (Muhammadyah, Persatuan Islam/Persis dan Al-Irsad) dan kaum tradisionalis (NU, Persatuan Umat Islam/PUI Jawa Barat, Al-Washliyah di Sumatra Utara, Perti di Sumatra Barat, Matala’ul Anwar di Banten, Nahdatul Wathan di Lombok dsb). Istilah modernis dan tradisionalis sendiri syarat nilai yakni menyangkut masalah dan persoalan rumit tentang apa yang disebut modern dan apa yang disebut tradisional, sehingga tidak terlepaskan dari unsure pertimbangan pribadi (bias) dan subkektivitas. Namun semua itu dalam HMI bisa berbaur bak kopi dan gula yang terasa manis adanya, kami tidak mempermasalahkan masalah perbedaan tersebut tetapi kami merasa perbedaan itu menjadikan organisasi kami penuh warna dan multicultural. Dan dalam pencegahan implikasi negative dari pluralime tersebut yang perlu dilakukan adalah dengan mengembangkan sikap arif dalam menerima pluralism menjadi kenyataan sinergis dalam kehidupan berorganisasi dan kehidupan masyarakat pada umumnya dimasa depan.
Pada setiap langkah melaksanakan ajaran islam di indonesia perlu diperhatikan situasi dan kondisi sosial budaya dengan ciri utamanya ialah pertumbuhan, perkembangan dan kemajemukan. Hal ini terkait dengan masalah keadaan historis yaitu kesadaran akan segala sesuatu mengenai tatanan hidup manusia ada sangkut pautnya dengan perbedaan waktu dan zaman. Dan kenyataan historis tersebut tidak dapat disangkal oleh apapun dan siapapun. lebih dari itu Menurut Nurkholismajd sebagai cendikiawan muslim, sulit sekali bagi pemimpin bangsa Indonesia untuk menggariskan suatu kebijaksanaan cultural tertentu berdasarkan pola-pola tertentu, yang sesuai atau dapat diterima oleh rakyat Indonesia walaupun pendududknya muslim atau mengaku muslim. Sikap agama yang ada di indonesia terhadap pluralism sangat jelas, agama tidak menolak adanya pluralism, bahkan agama memeberi kerangka sikap etis. Dari sudut pandangan islam, sikap positif tersebut dan kerangka sikap etis yang perlu dikembangkan, tercermin dalam beberapa ayat Al-Quran yang secara eksplisit mengakui mengakui kenyataan tersebut misalnya al-quran mengatakan bahwa manusia diciptakan bersuku-suku dan berbangsa bangsa agar mereka saling mengenal dan menghargai (QS;49:I3). dari kenyataan in yang menjadi problem adalah memadukan keislaman dan keindonesiaan, dalam suatu kerangka berfikir Indonesia. Karena kalau keislaman dan keindonesiaan tidak dipadukan maka dikotomi antara keduanya akan tetap muncul menjadi masalah sepanjang masa.
Terkadang kita juga salah dalam memahami moral, baik itu yang bersifat individu atau yang lebih luas tentang kebangsaan. Moral yang selalu digembor-gemborkan dalam setiap diskusi yang dilakukan oleh teman-teman mahasiswa bukanlah moral yang substansial, sebagai identitas dari bangsa kita ataupun kebudayaan kita yang cendrul terbuka dengan masuk dan menerima kebudayaan lain akan tetapi moral yang dibicarakan disini adalah moral yang sifatnya temporal, lahir akibat dari gejala sosial yang tidak memihak rakyat katakanlah seperti itu. Hal ini serupa dengan yang dikatakan beberapa teman mahasiswa yang memahami moral dalam konteks lagunya Bang Iwan Fals; masalah moral masalah akhlak biar kami cari sendiri urus saja moralmu urus saja akhlkmu keadian yang indah yang kami mau. Dalam petikan lagu diatas cendrung menyalahkan satu pihak atau merasa ada pihak yang lain merasa benar dan harus disalahkan padahal tidak seperti itu adanya ada kepenting bersama disana yang harus diurus atau dijaga bersama supaya kesalarasan hidup bernegara ini tetap terjaga.
Penulis menawarkan suatu solusi solutif dan sesuai dengan kerangka berpikir masyarakat Indonesia, yakni pluralisme kebinekatunggalikaan artinya walaupun berbeda beda kita tetap satu jua. Sebagai asas pancasila pluralime kebinakatunggalikaan berusaha memadukan unsure keislaman dan keindonesiaan, bahkan mungkin semua unsure perbedaan-perbedaan yang ada di Negara kita bisa diselaraskan dengan sikap tenggang rasa (teposeliro) yang sudah dimiliki dari dahulu kala sebagai harta warisan yang berharga bagi kita semua dan kita terkenal dimata dunia intrenasional salah satunya karena sikap khasnya yang ramah dan tamah. Tetapi dalam pengaplikasianya sangat sulit sekali mungkin karena ada terjadinya beberapa penggeseran kebudayaan dan pengaruh westernisasi yang sangat kuat menjadikan kita semua buta mata atau malahan menutup mata terhadap jati diri bangsa sendiri.
Penulis adalah Ketua Kabid Perguruan Tinggi dan Kemahasiswaan (PTKM) KOM-FAK ADAB
ukonpurkonudin@yahoo.com
Artikel keren lainnya:
Belum ada tanggapan untuk "PLURALITAS BERORGANISASI DALAM HMI"
Posting Komentar