Selasa, 06 Mei 2014

MAU PLAGIAT?... BELAJARLAH DARI HAMKA

Sinetron Indonesia berjudul Kau yang Berasal dari Bintang yang tayang di RCTI pada Senin (28/4/2014) ditudingmenjiplak drama fenomenal Man From The Stars produksi SBS Korea Selatan. Sinetron yang dibintangi oleh Nikita Willy dan Morgan, eks anggota boyband Smash. Soompi menuliskan sinetron Kau yang Berasal dari Bintang ini, baik lokasi maupun alur cerita, memiliki kesamaan dengan Man from the Stars. Bahkan kalau kita lihat sekilas dari judulnya aja sudah kelihatan sama persis bisa dikatakan itu jiplakan dari terjemahan film tersebut. Anehnya lagi bukannya mengakui salah dan minta maaf malah mau melanjutjan sinetron itu dengan mengubah alur ceritanya. saya baca di (www.solopos.com) Pihak perwakilan RCTI menyatakan telah mengetahui adanya kemiripan dengan sinetron Man From The Star. Oleh karenanya, kini RCTI beserta rumah produksi Sinemart menyatakan akan mengubah judul dan alur sinetron Kau yang Berasal dari Bintang yang telah tayang dua episode tersebut. “Kami sepakat untuk mengubah judul dan ceritanya,” kata Head of Corporate Secretary RCTI Adjie S Soeratmadjie. 


kata perwakilan SBS “Kami sedang dalam pembicaraan dengan rumah produksi di Indonesia tentang hak penerbitan sinetron itu, tapi drama ini sudah mulai ditayangkan. Kami sedang mencari cara untuk mengambil tindakan hukum terhadap drama itu, “.( http://www.tempo.co/read/news/2014 /05/01/111574562/ Jiplak-Drama-Populer-Korea-RCTI-Akan-Digugat).

Saya melihat metode dan cara berekspresi dan berkreasi para seniman dan sutradara indonesia sangat rendah. Mereka membuat sebuah karya sinetron dan menghalalkan segala cara demi tujuan memenuhi kebutuhan pasar dan mengejar retting belaka walaupun itu plagiat dari karya orang. Memang tren korea sekarang sudah menjamur seperti boy band, girl band, film dan drama korea, feshion dan sebagainya tetapi dalam berkarya etika untuk tidak plagiat harus kita junjung. Apalagi ini sudah bergeser kepada masalah industri dan hak cipta yang mengakibatkan gugatan hukum dan jelas melanggar Undang-Undang NO.19 tahun 2002 yang terdiri atas 15 bab dan 78 pasal untuk lebih jelasnya lihat (Sumber: Undang-undang Perlindungan HAKI, Indonesia Legal Publishing, 2005). 

Secara Filosofis sebenarnya Plato memandang negatif karya seni. Ia menilai karya seni sebagai mimesis/mimesos. Menurut Plato, karya seni hanyalah tiruan dari realita yang ada. Realita yang ada adalah tiruan (mimesis) dari yang asli. Yang asli itu adalah yang terdapat dalam ide. Ide jauh lebih unggul, lebih baik, dan lebih indah dari pada yang nyata ini. ( http://id.wikipedia.org/wiki/Plato). Pendapat Plato ini diadopsi oleh madzhab memisis dalam teori sastra dan seni ada yang berpandangan seni adalah tiruan atau menirukan alam. Seni adalah pengejawantahan dari realitas kehidupan yang ada.

Makanya dalam seni dan sastra wajar kalau setiap karya master piece itu menjadi sumber inspirasi dalam penulisan atau pembuatan suatu karya seni. Misalnya cerita Romeo dan Juliet terinspirasi dari cerita Laila dan Majnun atau Tenggelamnya Kapal Van der Wijck karya Hamka (1939) yang dulu dianggap Abdullah S.P plagiat dari novel Al Majdulin karya sastrawan Mesir, Mustafa Luthfi Al-Manfaluthi. Novel Al Majdulin atau Magdalaine atau Magdalena dalam edisi bahasa Indonesia itu merupakan novel saduran dari novel Sous les Tilleuls (‘Di Bawah Pohon Tilia’) karya sastrawan Prancis, Alphonse Karr. Pernyataan senada dengan Abdullah S.P pun dibenarkan oleh sastrawan indonesia beraliran realisme sosialis Pramudiya Antatour yang mengangap karya Hamka Itu Plagiat dan ia menyuruh Hamka untuk meminta maaf kepada bangsa Indonesia dan bangsa Mesir.

Melihat kasus Buya Hamka pada tahun 1962 dan fenomena plagiat zaman sekarang tentu jauh berbeda. Seorang sastrawan, sutradara, atau seniman boleh meniru akan tetapi pada batas tertentu, tokoh, alur, peristiwa, pesan dan amanatnya harus berbeda, harus ada pembeda antara karya yang disadur dan yang mempengaruhi seorang sastrawan atau seniman dengan karya yang ia buat. Makanya karya Hamka dan Musthafa Luthfi Al-Manfaluti jelas berbeda walaupun terdapat beberapa kesamaan. Untuk melihat perbedaaan dan persamaannya baca di (http://asepsambodja.blogspot.com/2009/10/buya-hamka-dan-tuduhan-plagiat-itu.html). Menurut saya Buya Hamka adalah menyadur karya Luthfi Al-Manfaluthi kedalam realitas imjinasi alam pikirannya dan jelas pengaruh Musthafa Luthfi Al-Manfaluti terlihat kuat dalam karyanya tersebut karena beliau telah membaca karyanya.

Kritikus sastra H.B. Jassin menolak tuduhan Hamka Plagiat. Menurut Jassin (dalam Pradopo, 2002), yang disebut “plagiat” itu adalah pengambilan karangan orang lain sebagian atau seluruhnya dan membubuhkan nama sendiri seolah-olah kepunyaannya. Di samping “plagiat”, ada saduran, yaitu karangan yang jalan ceritanya dan bahan-bahannya diambil dari suatu karangan lain, misalnya cerita luar negeri disesuaikan dengan alam sendiri (Indonesia) dengan mengubah nama-nama dan suasananya. Saduran itu pun harus disebutkan nama pengarang aslinya. Selain “plagiat” dan “saduran”, ada juga “pengaruh”, yakni hasil ciptaan pengarang sendiri mendapat pengaruh pikiran atau filsafat pengarang lain, baik disengaja maupun tidak.

H.B. Jassin dan Junus Amir Hamzah (1963) telah membukukan polemik itu dalam buku Tenggelamnya Kapal Van der Wijck dalam Polemik. Setelah membaca tulisan-tulisan yang menuduh Hamka sebagai plagiat maupun yang menolaknya, Umar Junus (dalam Hamzah, 1963) menyimpulkan bahwa pertama, Hamka menggunakan pola dan plot yang ada dalam karya Manfaluthi, tetapi ia mengisi tema dan idenya sendiri. Kedua, Hamka sangat terpengaruh Manfaluthi sehingga menyenangi dan menggunakan hal-hal yang sama dengan Manfaluthi, termasuk cara pengucapannya. Hal ini mungkin karena keaslian pengucapan belum menjadi mode pada masanya. Dalam disertasinya, Rachmat Djoko Pradopo menilai bahwa persoalan Tenggelamnya Kapal Van der Wijck bukanlah persoalan plagiat atau jiplakan, melainkan masalah intertekstual, yakni transformasi dari satu teks ke teks yang baru. (http://asepsambodja.blogspot.com/2009/10/buya-hamka-dan-tuduhan-plagiat-itu.html).

Maka  dari itu dalam berkarya cipta kita harus jujur dan menghargai pencipta sebelumnya, kalau kita mau menyadur jangan asal plagiat dan mengklaim hasil karya itu sebagai milik kita sendiri kita harus mencantumkan nama pengarang dan karyanya yang mempengaruhi karya cipta kita, kalau mau menulis buku foot note dan daftar pustakanya sumber asalnya jgn lupa di cantumkan. mengklaim karya orang seolah-olah menjadi karya sendiri adalah kejahatan yang disebut plagiat atau plagiarisme. Dalam menulis kita harus mencantumkan refrensi jangan copy paste, apalagi untuk mahasiswa yang mengejar tugas dosennya. Jadilah bangsa yang suka mengupload data ke internet sebagai jerih payah pemikiran dan karya kita, bukannya mendownload dan menjiplaknya menjadikannya milik dan pemikiran sendiri.

Melihat perkembangan tekhnologi di era globalisasi yang serba mudah mendapatkan refrensi, seharusnya kita memanfaatkan itu sebagai sumber data dan sumber inspirasi dalam berkarya dan bersaing secara kompetitif melahirkan karya yang bemanfaat, edukatif, kreatif, inspiratif dan inovatif. Buya Hamka saja yang menulis dibawah gubuk bisa menghasilkan karya inspiratif, edukatif dan syarat akan moral. dibawah lindungan ka’bah, Tenggelamnya Kapal Van der Wijck. bahkan ia menulis tafsir al Azhar didalam penjara.

Lalu bagaimana fenomena plagiat zaman sekarang? Terutama merebaknya kasus sintron plagiat total, plagiat karya orang seperti jiplakan lagu, jiplakan film, copas (copy paste), dll. Apapun bentuk dan modusnya semua itu salah dan berbeda kalau kita menyadurnya dan kita terpengaruhi serta memberikan analisis dan muatan nilai baru pada suatu karya yang ingin kita buat, sebagaimana yang dikatakan pausnya sastrawan indonesia H.B. Jassin.

Imbas dari plagiat sangat besar dan membahayakan bagi perkembangan anak bangsa dan kedaulatan NKRI, sebagaimana tulisan saya dikompasiana Stop Plagiat: Plagiarisme Menghancurkan Anak Bangsa: plagiarisme (plagiat) merupakan penyakit sosial yang akan mensengsarakan anak bangsa, akibatnya membuat lemah mental dan karakter anak bangsa sehingga melahirkan kemiskinan imajinasi, kreativitas, dan inovasi untuk mencipta dan berkarya. Plagiarisme mengarahkan anak bangsa pada cara berpikir instan yang tidak mau belajar dari proses dan membuat mentalitas anak bangsa kita menjadi anak bangsa konsumtif, dibodohkan, dan dibuat ketergantungan. Mungkin sekarang kita bisa merasakannya. Kita akan menjadi negara yang selalu tergantung oleh asing sebagai gantinya asing masuk menjarah tanah air kita yang tercinta, lihatlah freefoort di Papua?, lihatlah perusahan sawit di sumatra dan kalimantan siapa yang punya?.. lihatlah Kenapa kita lebih senang makan di KFC ketimbang di warteg? Lihatlah wabah industri korea menjamur dimana-mana? Inilah bentuk neokolonialisme penjajahan baru yang ada di negara kita.  (http://edukasi. kompasiana.com/2014/05/05/stop-plagiat-plagiarisme-menghancurkan-anak-bangsa-651157.html,). kitajadi budak dinegara kita sendiri, kita mengekspor TKI/TKW untuk dijadikan budak di negeri orang, negara kita sudah tak berdikari karena pagiarisme menuntun kita untuk menjadi negara boneka asing dengan sejuta kepentingannya untuk mengeksploitasi bangsa dan negara kita.

Solusi yang saya tawarkan adalah memperkuat basis mental dan karakter budaya bangsa melalui pendidikannya. Pendidikan haruslah mencerahkan dan mendidik bangsa untuk membangun bangsanya yang madani. Bangsa madani adalah bangsa yang berperadaban dan mempunyai mentalitas dan karakter budaya yang kuat. Mentalitas dan karakter budaya bangsa kita sangat kreatif dan insfiratif lihatlah nenek moyang kita terkenal dengan bakatnya sebagai pembuat perahu layar dan arsitektur candi, belum seni pewayangan, angklung, batik tarian jaipong, reog ponorogo dan sebagainya, anak bangsa harus punya cipta, karya, rasa, dan karsa yang diwariskan nenek moyang kita sebagai pendidikan dan ajaran hidup.

Cipta adalah kesadaran manusia untuk menyadari adanya Hidup itu sendiri. Dalam Kehidupan Manusia tidak bisa terlepas dari 3 hal yaitu Cipta, Rasa dan Karsa. Dengan adanya unsur Cipta, manusia bisa menyadari adanya ADA . ADA nya kita karena Adanya SANG MAHA ADA yang ABADI dialah ALLAH tuhan semesta alam. Dengan anugrahNya kita bisa merasakan semua yang ADA. Rasa, adalah mediator / sarana kita mengenal SANG MAHA KEKAL / SELALU ADA TIDAK BERAWAL DAN BERAKHIR. Semua Manusia tidak pernah lepas dari Rasa. Karena adanya Rasa timbullah keinginan apa yang disebut dalam bahasa jawa yaitu , Karsa. Maksud Karsa yang saya maksudkan disini adalah dalam bentuk keinginan yang diaplikasikan. (http://waris-design.blogspot.com/2011/05/cipta-rasa-karsa.html) 

Ketiga konsep tersebut digunakan oleh Ki Hajar Dewantoro sebagai metode pembelajaran hidup yang menjadi dasar peganganya dalam merumuskan konsep pendidikannya yang menjadi pedoman pendidikan nasional yakni Tut Wuri Handayani (dibelakang memberikan dorongan), ingmadya mangun karsa (ditengah menciptakan peluang untuk berkarsa), ing ngarsa sungtulada (didepan memberi teladan).

sumber: http://sejarah.kompasiana.com/2014/05/05/mau-palgiat-belajar-dari-hamka-651283.html

Tidak ada komentar:

Posting Komentar