Jumat, 20 Desember 2013

ILMU KE-ADAB-AN DAN PERANANYA DALAM PERADABAN GLOBAL[1]


Al-Qur'an adalah wahyu Allah yang mengatur hubungan manusia dengan Allah, dirinya sendiri dan lingkungannya. Wahyu itu diturunkan sebagai petunjuk menuju jalan yang benar. Didalamnya terdapat sumber kehidupan, ilmu pengetahuan, kebudayaan, sosial, peradaban, hukum, moral, kebijaksanaan, yang bagi siapa yang menggalinya akan mendapatkan kebahagiaan. Wahyu itu bukan semata-mata jamuan spiritual (ma'dubah) yang terbaik bagi ummat manusia akan tetapi jamuan untuk seluruh alam semesta (rahmatan lil alamin).

Al-Quran sebagai kitab wahyu agama islam merupakan sumber pengetahuan bagi manusia dan menghargai akal sebagai potensi kecerdasan manusia dalam membaca wahyu tersebut.  Agama islam tidak pernah mengklaim wahyu Tuhan sebagi satu-satunya sumber pengetahuan dan melupakan kecerdasan manusia, atau sebaliknya yang menganggap akal pikiran manusia sebagai satu-satunya sumber ilmu pengetahuan dan melupakan Tuhan. Jadi sumber pengetahuan islam itu ada dua macam yakni berasal dari wahyu allah dan berasal dari akal pikiran manusia, dengan kata lain teoantroposentrisme.

Pada era modernisme menghendaki pemisahan antara ilmu dan agama (diferensiasi) yang melahirkan ilmu sekuler barat yang bebas dari nilai atau kepentingan (Positivisme). Tetapi pada realitasnya ilmu telah melampaui dirinya sendiri. Ilmu yang semulanya adalah ciptaan manusia telah menjadi penguasa atas manusia. Ilmu sekuler atau sekulerisme bukan hanya merambah pada tataran antroposentrisme dan diferensiasi pada tataran ilmu dan prilaku. Sekarang ini sekulerisme telah menjadi aliaran pemikiran dan menggantikan keyakinan beragama. Maka seluruh kehidupan akan menjadi sekuler, bahkan agama akan lenyap, atau hanya menjadi ritual spiritual dan menjadi kesadaran kosmis. Sekulerisme adalah eskatologi manusia modern.

Sekulerisme sudah tidak lagi sesuai dengan semangat zaman. Menurut Kuntowijoyo pada peradaban yang disebut pasca modern perlu adanya perubahan dari diferensiasi menuju dediferensiasi (rujuk kembali). Kalau deferensiasi menghendaki pemisahan agama dari sektor-sektor kehidupan lain, maka deferensiasi adalah menyatukan kembali agama dengan sektor-sektor kehidupan lain, termasuk agama dan ilmu.

Ilmu ke-adab-an adalah suatu ilmu yang mentransformasikan ajaran dan nilai-nilai spiritual agama dengan temuan kreasi dari akal pikiran manusia. Ilmu ke-adab-an bukanlah bebas nilai yang sekuler dalam menopang peradaban manusia, ataupun ilmu relegius yang menghilangkan peran kreasi pikiran manusia. Ilmu ke-adab-anlah yang menyatukan wahyu Tuhan dalam hal ini agama dengan temuan pikiran akal manusia. 

Salah satu aspek penting dalam ilmu ke-adab-an dalam menopang peradaban adalah peran utama moral dan spiritual. George Zaidan, penulis Kristen asal Lebanon menulis, "Langkah pertama yang dilakukan Rasulullah Saw setelah tiba di Yasrib (Madinah) adalah menciptakan persaudaraan antara Mekah dan Yasrib.  Ketika sekumpulan manusia menempati suatu tempat dan menetap di daerah tersebut maka akan terbentuk diantara mereka hubungan sosial kemasyarakatan, dan persaudaraan (ukwah islamiyah). darisana akan lahir interaksi antar manusia untuk membangun kemajuan dan keteraturan di tempat tersebut, kota atau madînah, itu kenapa Rasulullah menamakan Yatsrib menjadi Madinah. Persaudaraan antara kaum Muhajirin dan Anshar merupakan bentuk persatuan Islam yang dicanangkan Rasulullah." Lebih dari itu Abu Bakar Hamzah dalam “Sejarah Kebudayaan Islam” menambahkan bahwa wujud pembangunan tadi mempunyai dua unsur utama yang seiring, kerohanian dan kebendaan.

Sayyid Qutb melihat ilmu keadaban dalam membangun peradaban bukan sebagai kemajuan kebendaan/materi melainkan peradaban tauhid yang integrallistik. Ia dilahirkan oleh sistem Islam yang menyempurnakan manusia dengan kemanusiaannya, menimbulkan makna hakikat ubudiyah kepada Allah SWT dan keseimbangan yang menyeluruh dalam hidup individu dan masyarakat. Maka ilmu keadaban akan menuntun kehidupan manusia dalam bermasyarakat yang telah mencapai taraf kehalusan tatasusila dan kebudayaan yang luhur bagi seluruh masyarakatnya.

  Ilmu ke-adab-an sangat menekankan nilai spritualitas agama yang menyediakan tolak ukur kebenaran ilmu (benar atau salah), bagaimana ilmu itu diproduksi (baik atau buruk), dan tujuaan ilmu (manfaat atau merugikan). Selebihnya adalah hak periogratif manusia yang oleh Allah di anugrahi akal untuk berpikir meformalisasikan ilmu pengetahuan. Ilmu ke-adab-an yang lahir dari nilai-nilai spritualitas agama islam haruslah menjadi ilmu yang objektif, rasional dan ilmiah. Artinya suatu ilmu bukanlah sentiment keagamaan, anti agama dan non agama, atau sentiment kepentingan hegemoni dunia timur dan barat, tetapi sebagai pemikiran dan gejala keilmuan yang objektif dan rasional.

Nilai objektifitas dan rasionalitas terletak pada struktur keilmuan ilmu keadaban itu sendiri. Struktur keilmuan dalam hal ini strukturalisme[2] mempunyai pengaruh kuat dalam membangun suatu landasan teori atau paradigma[3] ilmu pengetahuan. Sehingga ilmu mahasiswa fakultas adab, mahasiswa ilmu sosial dan humaniora harus mempelajarinya. Mereka yang belajar kritik sastra misalnya harus mengetahui teori strukturalisme genetik suatu metode yang berusaha mengganungkan strukturalisme dengan sejarah. Bukan hanya dalam kajian sastra strukturalisme meliputi bidang yang sangat luas diantaranya adalah sosilogi, ilmu politik, kebudayaan, antropologi, lingistik dan karya sastra. Ilmu keadaban bukan hanya memahami islam sebagai agama yang berkutat pada dataran teologis dan ritualis, tetapi bagaimana menerapkan nilai-nilai ajaran islam, spirit sejarah islam dan kondisi  sosial umat islam yang terkandung pada teks lama untuk ditransformasikan ke konteks sosial masa kini tanpa mengubah strukturnya. Maka ilmu sejarah peradaban islam, filologi, hermeneutik, antropologi, linguistik, sastra, kearsipan, ilmu perpustakaan dan sebagainya mempunyai peranan penting dalam menopang ilmu keadaban.

Ilmu ke-adab-an mempunyai banyak klasifikasi ilmu dan tersebar pada derivasi keilmuan yang menopang pada madaniyah (civilization), hadharah (peradaban), tsaqofah (kebudayaan), Turats (tradisi) dan fikr (pemikiran). Kelima aspek ke ilmuan diatas memiliki kajiaan yang saling tumpang tindih tetapi dengan tingkat spesifikasi dan generalitas yang berbeda. Madaniyah adalah ruang keilmuan yang general mencakup hadharah (peradaban), tsaqofah (kebudayaan), Turats (tradisi) kesenian, kesusastraan, ilmu pengetahuan gaya hidup personal dan komunal. Sedangkan hadharah mempunyai tingkat generalitas dibawah madaniyah, sebab ia hanya mencakup aktivitas akal budi pekerti atau pemikiran-pemikiran yang menjadi basis produk material. Sedangkan tsaqofah lebih spesifik karena hanya terfokus pada sisi pemikiran dalam hadharah baik pada tatanan teoritis maupun praktis,. Adapun turats menunjukan pada produk hadharah (peradaban) dibidang pemikiran, kesusastraan, kesenian termasuk diantaranya adalah tradisi rakyat. Dan fikr merujuk pada dimensi teoritis pemikiran dalam tsaqofah (kebudayaan).  Melihat presfektif ilmu ke-adab-an ini tergolong dalam ilmu humaniora seperti ilmu bahasa, sastra, sejarah, kebudayaan, antropologi, keasripan, perpustakaan, sosiologi, psikologi. Maka tidak sedikit Perguruan tinggi/UIN/IAIN di Indonesia menamakan Fakultas Adab di tambah dengan ilmu humanira ataupun ilmu budaya menjadi Fakultas Adab dan Humanora ataupun Fakultas Adab dan Ilmu Budaya.

Disamping kelima aspek keilmuan tadi ada aspek tamaddun hampir memiliki kesamaan makna dengan hadharah yang mempunyai arti peradaban.   Term tamaddun ini terdiri dari din dan madinah. Bisa dengan jelas dicerna dari 2 komponen tersebut tamaddun mewakili 2 sisi utama peradaban. Sebab kata din membawa makna keberhutangan, susunan kekuasaan dan mencari pemerintah yang adil. Artinya, dalam istilah agama tersembunyi suatu sistem kehidupan, oleh sebab itu ketika agama Allah yang bernama Islam telah disempurnakan dan dilaksanakan di suatu tempat, maka tempat itu diberinama madinah. Dan akhirnya dibentuk akar kata baru madana yang berarti membangun, mendirikan kota, memajukan, memurnikan dan memartabatkan (Ibnu Mundzir ”Lisan al-Arab”). Mengutip pernyataan Ibnu Khaldun yang terkenal ”al-Insanu madaniyyun bi al-thab’i” manusia adalah makhluk sosial secara tabi’atnya. Maka madaniyyun disini bisa diartikan ijtima’/ perkumpulan sosial masyarakat. Artinya antar keduanya, tamadun dan hadharah sama-sama memiliki arti kumpulan manusia yang menetap di wilayah kota dan mempunyai aktifitas dan interaksi antara mereka dalam memajukan kehidupan dan meraih capaian yang ada.

Dr. Hamid Fahmy Zarkasyi dalam makalahnya, ”Problem Peradaban Islam dan Barat” menjelaskan bahwa: Peradaban adalah derivasi dari kata adab. Adab sesungguhnya berarti jamuan makan yang dalam konteks ini al-Qur'an merupakan jamuan spiritual (ma'dubah) yang terbaik bagi ummat manusia. Maka para ulama terdahulu mengartikan adab sebagai ilmu, ta'dib adalah pendidikan atau pananaman ilmu dan konsekuensi terkati seperti iman, amal, dan akhlak. Ta'dib adalah usaha pengkaderan manusia-manusia beradab, yaitu manusia yang mempunyai ilmu dan mempunyai moralitas yang tinggi atau manusia-manusia yang ilmunya disertai amal dan sebaliknya. Manusia beradab adalah individu yang dapat menempatkan sesuatu sesuai dengan kedudukan dan tempatnya; individu yang dapat menempatkan kedudukan dirinya dihadapan Penciptanya dan dikalangan masyarakatnya. Jika ia seorang rakyat jelata ia mengetahui hak dan kewajibannya, jika ia seorang pemimpin ia mengerti arti keadilan dan berlaku adil, jika ia seorang ulama ia berani mengatakan yang hak dan yang batil kepada siapapun dan dimanapun, jika ia seorang seorang wakil rakyat (politisi) ia dapat meletakkan (memilih) seseorang sesuai dengan kapasitas dan keutamaannya baik dihadapan Tuhan maupun dan dihadapan manusia (rakyat)”

Sekarang adalah masa keemasan  teknologi dan sains serta arus globalisasi yang tak terkontrol,  masa krisis moral yang dituntut untuk harus maju bersaing dan berkompetensi secara tidak sehat, Aspek keilmuaan seseorang ditentukan oleh pasar dan dunia pendidikan terkomersialkan. Menurut Bahren Nurdin bahwa peradaban global (kapitalisme) siap menelan korban bagi siapa saja yang tidak siap mengikuti dan menghadapinya. Ritme kehidupan manusia yang semakin menggila. Kamajuan teknologi merajalela merambah dan mengikis nilai-nilai religius dan budaya-budaya ketimuran, juga kearifan lokal adat istiadat setiap detik digerogoti. Tekhnologi sudah menjadikan manusia sebagai masyarakat mesin. Tekhnologi sudah menjadi tujuan akhir peradaban barat. 

Ilmu ke-adab-an menerima sains dan teknologi sebagai alat bukan untuk tujuan. Ilmu ke-adab-an mengandung nilai spiritual agama dan moral yang berhubungan erat dengan ilmu pengetahuan, kebudayaan dan peradaban yang dibangun. Ketiga hal itu juga berperan penting dalam mengagungkan ilmu pengetahuan, kebudayaan dan peradaban yang humanis-teosentris. Sebagian besar pemikir kontemporer sepakat bahwa meski Barat sukses di bidang teknologi dan sains, tapi terpuruk dari sisi moral. ungkapan lain, Barat dari sisi peradaban, sama sekali tidak berkembang, bahkan malah terjebak dalam dekadensi. 

Tantangan ilmu ke-adab-an dalam peradaban global adalah tantangan ideologi, modernitas, invasi SDA, ekonomi, politik, dan kebudayaan, arus globalisasi dan informasi, dan lainnya.

Ilmu ke-adab-an bukanlah klaim keilmuan islam, meskipun la lahir dari tradisi keilmuan islam ilmu ke-adab-an sangat kontekstual untuk diterapakan tidak hanya ditimur bahkan di barat. Ilmu keadaban menjaga dan mengembangkan suatu peradaban, kebudayaan, tradisi, adat istiadat lokal, kesenian, khasanah pemikiran, kehidupan individu dan sosial masyarakat, supaya tetap maju sesuai dengan cita-cita yang dinginkan bersama menuju masyarakat adil makmur yang baldatun toyyibatun wa rabbun ghafur.
                                               

Sumber Bacaan
Amin Abdullah, Filsafat Etika Islam: Antara al-Ghazali dan Kant (Bandung Mizan, 2002)
Amin Rois, http://aminrois.blogspot.com/2010/10/definisi-peradaban-1.html
Hasan Hanafi, Oksidentalisme: Sikap Kita Teradap Tradisi Barat (Jakarta: Paramadina 2000) 
Kuntowijoyo, Paradima Islam: Interpretasi Untuk Aksi (Bandung: Mizan, 1994)
Kuntowijoyo, Muslim Tanpa Masjid (Bandung: Mizan, 1991)
Kuntowijoyo, Islam Sebagai Ilmu (Yogyakarta: Tria Wacana, 2006)
Lathiful Khuluq Dkk, Islam dan Ilmu Ke-Adaban: 50 Fakultas Adab dan Ilmu Budaya UIN Sunan Kalijaa Yoyakarta (Yogyakarta: Adab Perss, 2011)
M. Quraishihab, Wawasan Al-Quran: Tafsir Maudu’i Atas Pelbagai Masalah Umat (Bandung: Mizan 1996)



[1] Makalah Ini disampaikan dalam Seminar dan Pelantikan Pengurus HMI Komisariat Adab dan Ilmu Budaya priode 2013-2014 pada tanggal 21 desember 2013 di Teatrikal Pusat Bahasa Dan Budaya Asing UIN Sunan Kalijaga.

[2] Jean pegaet dalam structuralism ada tiga ciri dalam teori structural 1) Wholnees (keseluruhan)  ialah suatu kohesi atau keterpaduan. Seluruh susunan itu sudah lengkap, dan struktur bukan semata-mata terdiri dari kumpulan unsur-unsur yang lepas. Ada perbedaan antara keseluruhan dengan unsur-unsurnya. Unsur-unsur tidak berdiri secara terpisah, tetapi menjadi milik kesuluruhan suatu struktur. 2) Transformation (perubaan bentuk)  struktur itu tidak statis, karena gagasan mengenai perubahan bentuk itu penting. Struktur mampu memperkaya dirinya dengan bahan-bahan baru.  3) Self Regulation (mengatur diri sendiri) penambahan unsur-unsur baru tidak pernah berada di luar struktur, tetapi tetap memelihara struktur itu. Dengan demikian suatu struktur itu mengatur dirinya sendiri, melestarikan dirinya sendiri dan tertutup dari kemungkinan luar.

[3] Paradigma disini sesuai apa yang dipahami Thomas Khun bahwa pada dasarnya ilmu-ilmu yang ada sudah menjadi suatu paradigma (normal science) akan mengalami krisis, lalu timbul revolusi ilmu yang kemudian memberontak menjadi suatu paradigma baru. Dengan kata lain Khun mencoba untuk mengkontruksi ilmu pengetahuan yang mengalami krisis oleh made of thought atau made of inqiuiry tertentu, dan pada gilirannya akan menghasilkan mode of knowing. Imanuel kant misalnya menganggap cara mengetahui itu sebagai skema konseptual: Marx menamakannya sebagai ideologi dan  Wittgenstein melihatnya sebagai cagar bahasa

Tidak ada komentar:

Posting Komentar