Senin, 25 November 2013

Perayaan Sekaten Keraton Yogyakarta: Antara Tradisi, Dakwah, Dan Pasar


Pada tahun 1939 Caka atau 1477 Masehi, Raden Patah selaku Adipati Kabupaten Demak Bintara dengan dukungan para wali membangun Masjid Demak. Selanjutnya berdasar hasil musyawarah para wali, digelarlah kegiatan syiar Islam secara terus-menerus selama 7 hari menjelang hari kelahiran Nabi Muhammad S.A.W. Agar kegiatan tersebut menarik perhatian rakyat, dibunyikanlah dua perangkat gamelan buah karya Sunan Giri membawakan gending-gending ciptaan para wali, terutama Sunan Kalijaga.

Setelah mengikuti kegiatan tersebut, masyarakat yang ingin memeluk agama Islam dituntun untuk mengucapkan dua kalimat syahadat (syahadatain). Dari kata Syahadatain itulah kemudian muncul istilah Sekaten sebagai akibat perubahan pengucapan. Sekaten terus berkembang dan diadakan secara rutin tiap tahun seiring berkembangnya Kerajaan Demak menjadi Kerajaan Islam.


Demikian pula pada saat bergesernya Kerajaan Islam ke Mataram serta ketika Kerajaan Islam Mataram terbagi dua (Kasultanan Ngayogyakarta dan Kasultanan Surakarta) Sekaten tetap digelar secara rutin tiap tahun sebagai warisan budaya Islam. Di Kasultanan Ngayogyakarta, perayaan sekaten yang terus berkembang dari tahun ke tahun pada dasarnya terdapat tiga pokok inti yang antara lain:

1.         Dibunyikannya dua perangkat gamelan (Kanjeng Kyai Nagawilaga dan Kanjeng Kyai Guntur Madu) di Kagungan Dalem Pagongan Masjid Agung Yogyakarta selama 7 hari berturut-turut, kecuali Kamis malam sampai Jumat siang.

2.         Peringatan hari lahir Nabi Besar Muhammad SAW pada tanggal 11 Mulud malam, bertempat di serambi Kagungan Dalem Masjid Agung, dengan Bacaan riwayat Nabi oleh Abdi Dalem Kasultanan, para kerabat, pejabat, dan rakyat.

3.         Pemberian sedekah Ngarsa Dalem Sampean Dalem Ingkang Sinuwun Kanjeng Sultan, berupa Hajad Dalem Gunungan dalam upacara Garebeg sebagai upacara puncak sekaten.

Sekaten atau upacara Sekaten (berasal dari kata Syahadatain atau dua kalimat syahadat) adalah acara peringatan ulang tahun nabi Muhammad s.a.w. yang diadakan pada tiap tanggal 5 bulan Jawa Mulud (Rabiul awal tahun Hijrah) di alun-alun utara Yogyakarta. Upacara ini dulunya dipakai oleh Sultan Hamengkubuwana I, pendiri keraton Yogyakarta untuk mengundang masyarakat mengikuti dan memeluk agama Islam.

Sekaten merupakan perpaduan antara kegiatan dakwah Islam dan seni. Sejarah Sekaten menyebutkan, bahwa Sunan Kalijaga sering menggunakan kesenian karawitan (gamelan Jawa) untuk memikat masyarakat luas agar datang dan menikmati pergelaran karawitan-nya dengan menggunakan dua perangkat gamelan Kanjeng Kyai Sekati. Di tengah pagelaran diisi khotbah dan pembacaan ayat-ayat suci Al-Qur’an. Pagelaran seni karawitan sendiri bertepatan dengan perayaan maulid Nabi Muhammad saw.

Bagi mereka yang bertekad untuk memeluk agama Islam, diwajibkan mengucapkan kalimat Syahadat. Dari kata syahadatain inilah muncul istilah Sekaten sebagai akibat perubahan pengucapan. Bagi masyarakat Yogyakarta meyakini bahwa dengan merayakan hari kelahiran Nabi Muhammad saw, akan mendapat pahala dari Yang Maha Agung dan dianugerahi awet muda. Dalam prosesinya, mereka diharuskan menguyah sirih di halaman Masjid Agung Yogyakarta, terutama pada hari pertama dimulainya perayaan Sekaten. Tak heran jika hingga kini banyak dijumpai para penjual sirih dengan ramuannya dan nasi gurih dengan berbagai lauk-pauknya.

Puncak perayaan Sekaten dimulai pada tanggal 6 Maulud (Rabiulawal) saat sore hari, ditandi dengan dikeluarkannya gamelan Kanjeng Kyai Sekati dari tempat persemayamannya, Kanjeng Kyai Nogowilogo ditempatkan di Bangsal Trajumas dan Kanjeng Kyai Guntur Madu di Bangsal Srimanganti. Dua pasukan abdi dalem prajurit bertugas menjaga gamelan pusaka tersebut, yaitu prajurit Mantrijero dan prajurit Ketanggung. Tepat pada pukul 24.00 WIB, gamelan Sekaten dipindahkan ke halaman Masjid Agung Yogyakarta dengan dikawal kedua pasukan abdi dalem prajurit Mantrijero dan Ketanggung. Kanjeng Kyai Guntur Madu ditempatkan di pagongan sebelah selatan gapuran halaman Masjid Agung dan Kanjeng Kyai Nogowilogo di pagongan sebelah utara. Di halaman masjid tersebut, gamelan Sekaten dibunyikan terus menerus siang dan malam selama enam hari berturut-turut, kecuali pada malam Jumat hingga selesai sholat Jumat siang harinya.

Tepat pada tanggal 11 Maulud (Rabiulawal), mulai pukul 20.00 WIB, Sri Sultan menghadiri upacara Maulud Nabi Muhammad SAW bertempat di Masjid Agung. Peryaan mauled nabi ini ditandai dengan pembacaan naskah riwayat maulud Nabi yang dibacakan oleh Kyai Pengulu. Upacara tersebut selesai pada pukul 24.00 WIB, dan setelah semua selesai, perangkat gamelan Sekaten diboyong kembali dari halaman Masjid Agung menuju ke Kraton. Pemindahan ini merupakan tanda bahwa upacara Sekaten telah berakhir.

Sekaten adalah warisan budaya Islam yang tidak sebatas seremonial. Ada banyak nilai yang terkandung di dalamnya, dari mulai ketauladanan nabi dan keagungan ajarannya yang harus kita jadikan acuan hidup, hingga menjaga eksistensi budaya Islam yang tumbuh berdapingan dengan budaya local.

Sekarang terdapat Kegiatan pendukung perayaan sekaten di Yogyakarta dengan diselenggarakannya Pasar Malem Perayaan Sekaten selama 39 hari, event inilah yang menjadi daya tarik bagi masyarakat Jogja maupun luar Jogja.

 Kini Peringatan sekaten di Yogyakarta mengalami pergeseran makna karena masyarakat lebih mementingkan transaksi jual beli ketimbang belajar tentang agama Islam. Pengangeng Tepas Dwarapura Keraton Yogyakarta atau Kepala Kantor Dwarapura Keraton Yogyakarta KRT H. Jatiningrat mengatakan indikasi pergeseran makna perayaan sekaten adalah semakin meningkatnya volume transaksi jual beli di sekitar Alun-alun Utara. Pasar Malem Perayaan Sekaten selama 39 hari.

            Pengunjung dan masyarakat orientasinya hanya transaksi jual beli dan tidak memahami makna sekaten. Pengunjung tidak banyak yang mendengarkan dakwah yang disampaikan di Masjid Gede yang terletak di barat Alun-alun Utara."Mereka kebanyakan sibuk dengan transaksi jual beli. Kondisi ini berbahaya karena masyarakat lebih mementingkan nilai ekonomi,". Menurut beliau, orientasi jual beli membuat banyak orang tidak punya waktu mengenal sejarah perayaan sekaten dan Maulid Nabi Muhammad SAW. Pengunjung sekaten disibukkan dengan hiruk pikuk transaksi jual beli. "Hiruk pikuk transaksi jual beli memang tidak bisa dihindari. Namun, memahami makna dakwah Islam dan kelahiran Nabi Muhammad SAW juga penting".

Sementara itu, perayaan Maulid Nabi juga mengalami perubahan tradisi. Sebelum 1941 terdapat tradisi siniwoko atau raja bersemedi. Tradisi itu menggambarkan sultan duduk menghadap ke masyarakat dan tidak berbicara di kawasan Kraton. "Sekarang tradisi itu sudah tidak ada karena situasinya berbeda. Dulu ada tradisi itu karena situasinya dalam keadaan perang," katanya.

Sumber

http://bimasislam.kemenag.go.id

http://maxtroholidays.com/blog/sejarah-dan-tradisi-sekaten-yogyakarta.html#sthash.cnraLBvn.dpuf

http://www.tempo.co/read/news/2013/01/25/199456789/Makna-Perayaan-Sekaten-Bergeser

http://id.wikipedia.org/wiki/Sekaten

2 komentar:

  1. Mungkin dahulu keti orang masih awam tentang ajaran Islam, hal ini memang efektif untuk dijadikan sebagai media dakwah, namun jika hal ini terus menerus digalakan apalagi di zaman sekarang ini, maka sangatlah tidak cocok, dilihat dari segi perayaan yang sangat besar melebihi perayaan hari besar agam Islam (idul fitri dan idul adha).
    Terlebih ada keyakinan diluar ajaran Islam
    "Bagi masyarakat Yogyakarta meyakini bahwa dengan merayakan hari kelahiran Nabi Muhammad saw, akan mendapat pahala dari Yang Maha Agung dan dianugerahi awet muda. Dalam prosesinya, mereka diharuskan menguyah sirih di halaman Masjid Agung Yogyakarta, terutama pada hari pertama dimulainya perayaan Sekaten."

    BalasHapus
  2. dalam melihat perkembangan dari kebudayaan sekaten ini memang sudah masuk ke ranah komersialisasi meskipun perayaannya besar bagi saya tidak masalah tp jd permasalahannya adalah masalah keyakinan td.. masih banyak kepercayaan masyarakat jogjakarta yang mistis, hinduisme dll..... dan islam lambat laun merobah tradisi itu menjadi madani.
    yogya memang istimewa dalam ranah kebudayaanya.. kebanyakan hasil produk budaya yang sekarang adalah bentuk akulturasi dengan kebudayaan lama dan menghasilkan kearifan lokal seperti sekaten ini..
    bagi saya yang paling urgen sekarang yang menjadi ketakutan saya masyarakat orientasinya hanya transaksi jual beli dan tidak memahami makna sekaten. Pengunjung tidak banyak yang mendengarkan dakwah yang disampaikan di Masjid Gede yang terletak di barat Alun-alun Utara."Mereka kebanyakan sibuk dengan transaksi jual beli. Kondisi ini berbahaya karena masyarakat lebih mementingkan nilai ekonomi,". Menurut Pengangeng Tepas Dwarapura Keraton, orientasi jual beli membuat banyak orang tidak punya waktu mengenal sejarah perayaan sekaten dan Maulid Nabi Muhammad SAW. Pengunjung sekaten disibukkan dengan hiruk pikuk transaksi jual beli. "Hiruk pikuk transaksi jual beli memang tidak bisa dihindari. Namun, memahami makna dakwah Islam dan kelahiran Nabi Muhammad SAW juga penting".

    BalasHapus