Jumat, 23 September 2011

SEJARAH MUNCULNYA TASAWUF

  1. PENDAHULUAN
Islam merupakan agama yang menghendaki kebersihan lahiriah sekaligus batiniah. Hal ini tampak misalnya melalui keterkaitan erat antara niat (aspek esoterik) dengan beragam praktek peribadatan seperti wudhu, shalat dan ritual lainnya (aspek eksoterik). Tasawuf merupakan salah satu bidang kajian studi Islam yang memusatkan perhatiannya pada upaya pembersihan aspek batiniah manusia yang dapat menghidupkan kegairahan akhlak yang mulia. Jadi sebagai ilmu sejak awal tasawuf memang tidak bisa dilepaskan dari tazkiyah al-nafs (penjernihan jiwa). Upaya inilah yang kemudian diteorisasikan dalam tahapan-tahapan pengendalian diri dan disiplin-disiplin tertentu dari satu tahap ke tahap berikutnya sehingga sampai pada suatu tingkatan (maqam) spiritualitas yang diistilahkan oleh kalangan sufi sebagai syuhud (persaksian), wajd (perjumpaan), atau fana’ (peniadaan diri). Dengan hati yang jernih, menurut perspektif sufistik seseorang dipercaya akan dapat mengikhlaskan amal peribadatannya dan memelihara perilaku hidupnya karena mampu merasakan kedekatan dengan Allah yang senantiasa mengawasi setiap langkah perbuatannya. Tasawuf secara sederhana dapat diartikan sebagai usaha untuk menyucikan jiwa sesuci mungkin dalam usaha mendekatkan diri kepada Tuhan sehingga kehadiran-Nya senantiasa dirasakan secara sadar dalam kehidupan. tasawuf para sahabat bukanlah pola ketasawufan yang menghendaki kasyf al-hijab (penyingkapan tabir antara Tuhan dengan makhluk) atau hal-hal sejenisnya yang diburu oleh para sufi di masa belakangan. Corak sufisme yang mereka tunjukkan adalah ittiba’ dan iqtida’ (kesetiaan meneladani) perilaku hidup Nabi. Islam sekalipun mengajarkan tentang ketakwaan, qana’ah, keutamaan akhlak dan juga keadilan, tetapi sama sekali tidak pernah mengajarkan hidup kerahiban, pertapaan atau uzlah sebagaimana akrab dalam tradisi mistisisme agama-agama lainnya.
Tasawuf pada mulanya adalah bagian dari ajaran zuhd dalam islam. Yaitu lebih berkonsentrasi dalam pendekatan diri kepada Allah SWT dengan ketaatan dan ibadah. Semakin jauh dari zaman Rasul SAW semakin banyak aliran-aliran tasawuf berkembang. Dari perbedaan tatacara yang digunakan oleh masing-masing aliran itu tasawuf menjadi istilah yang terpisah dari ajaran zuhud. Karena tasawuf telah menjadi aliran yang memiliki makna khusus sebab kekhususan praktek ajaran yang ditempuhnya.
Ada tiga unsur dalam diri manusia yaitu: ruh, akal, dan jasad. Kemulian manusia dibanding dengan makhluk lainnya adalah karena manusia memiliki unsur ruh ilahi. Ruh yang dinisbahkan kepada Allah. SWT. Ruh Ilahi inilah yang menjadikan manusia memiliki sisi kehidupan rohani yang dapat diistilahkan dengan makna tasawuf. Dimana kecondongan ini juga dimiliki oleh semua manusia dalam setiap agama. Karena perasaan itu merupakan fitrah manusia. Secara umum dapat juga kita ibaratkan makna tasawuf dengan filsafat kehidupan dan metode khusus sebagai jalan manusia untuk mencapai akhlak sempurna, menyingkap hakikat dan kebahagiaan jiwa. 
Adapun inti dari tasawuf sendiri ialah tekun beribadah, menjauhi kemewahan dunia dan mengasingkan diri dari manusia untuk beribadah sebagaimana para sahabat dan ulama terdahulu melakukannya. Nabi SAW sendiri secara sufistic telah memiliki prilaku sufi sejak dalam kehidupannya, seperti dalam perilaku atau pribadi beliau, peristiwa dalam hidup, ibadah. Sebelum menjadi Rasul, beliau sering berkholwat di gua hira dengan berdzikir, bertafakur untuk mendekatkan diri kepada Alloh SWT.
II.    ASAL-USUL KATA TASAWUF
Al-Qusyairi di dalam Al- Risalah al-Qusyairiyyah, mengatakan bahwa para generasi pertama ( sahabat ) dan sesudahnya (tabi’in ) mereka lebih menyukai dan merasakannya sebagai penghormatan apabila mereka disebut sebagai sahabat. Pada saat itu istilah-istilah seperti ‘abid, zahid dan sufi belumlah dikenal dan belum populer bila dibandingkan dengan masa setelahnya. Dengan demikian, istilah-istilah seperti ‘abid, zahid dan kemudian sufi, yang digunakan untuk para ahli ibadah, baru dikenal setelah generasi sahabat dan tabi’in ini. Tentang asal kata Tasawwuf, yang berasal dari kata sufi, terdapat beberapa pendapat yang berbeda. Diantaranya ada yang menganggap bahwa secara lahiriah sebutan tersebut hanya semacam gelar, sebab dalam bahasa Arab tidak terdapat akar katanya. “Menurut sejarah,orang yang pertama memakai kata sufi adalah seorang zahid atau asketik bernama Abu Hasyim Al-kufi di Irak. Terdapat lima teori mengenai asal kata sufi , teori-teori berikut selalu dikemukakan oleh para penulis tasawuf, yaitu :
1)    Kata Tasawwuf adalah bahasa Arab dari kata suf yang artinya bulu domba. Orang sufi biasanya memakai pakaian dari bulu domba yang kasar sebagai lambang kesederhanaan dan kesucian. Dalam sejarah disebutkan, bahwa orang yang pertama kali menggunakan kata sufi adalah seorang zahid yang bernama Abu Hasyim Al-Kufi di Irak (wafat tahun 150H).
 2)    Ahl Al-Suffah, (أهل الصفة) yaitu orang-orang yang ikut hijrah dengan Nabi dari Mekkah ke Medinah yang karena kehilangan harta, mereka berada dalam keadaan miskin dan tak memiliki apa-apa. Mereka tinggal di serambi Mesjid Nabi dan tidur di atas batu dengan memakai pelana sebagai bantal. Pelana disebut suffah. Walaupun hidup miskin, Ahl Suffah berhati baik dan mulia. Gaya hidup mereka tidak mementingkan keduniaan yang bersifat materi, tetapi mementingkan keakhiratan yang bersifat rohani. Mereka miskin harta, tetapi kaya budi yang mulia. Itulah sifat-sifat kaum sufi.
3)    Shafi ( صافي) yaitu suci. Orang-orang sufi adalah orang-orang yang mensucikan dirinya dari hal-hal yang bersifat keduniawian dan mereka lakukan melalui latihan yang berat dan lama. Dengan demikian mereka adalah orang-orang yang disucikan.
4)    Sophia, berasal dari bahasa Yunani, yang artinya hikmah atau filsafat. Jalan yang ditempuh oleh orang-orang sufi memiliki kesamaan dengan cara yang ditempuh oleh para filosof. Mereka sama-sama mencari kebenaran yang berawal dari keraguan dan ketidakpuasan.
5)    Saf ( صف) Sebagaimana halnya orang yang shalat pada saf pertama mendapat kemuliaan dan pahala yang utama, demikian pula orang-orang sufi dimuliakan Allah dan mendapat pahala, karena dalam shalat jamaah mereka mengambil saf yang pertama.

III.   PENGERTIAN TASAWUF
Tasawuf merupakan salah satu bidang kajian studi Islam yang memusatkan perhatiannya pada upaya pembersihan aspek batiniah manusia yang dapat menghidupkan kegairahan akhlak yang mulia. Jadi sebagai ilmu sejak awal tasawuf memang tidak bisa dilepaskan dari penjernihan jiwa. Upaya inilah yang kemudian diteorisasikan dalam tahapan-tahapan pengendalian diri dan disiplin-disiplin tertentu dari satu tahap ke tahap berikutnya sehingga sampai pada suatu tingkatan (maqam) spiritualitas yang diistilahkan oleh kalangan sufi sebagai syuhud (persaksian), wajd (perjumpaan), atau fana’ (peniadaan diri). Dengan hati yang jernih, menurut perspektif sufistik seseorang dipercaya akan dapat mengikhlaskan amal peribadatannya dan memelihara perilaku hidupnya karena mampu merasakan kedekatan dengan Allah yang senantiasa mengawasi setiap langkah perbuatannya. Jadi pada intinya, pengertian tasawuf merujuk pada dua hal: (1) penyucian jiwa (tazkiyatun-nafs) dan (2) pendekatan diri (muraqabah) kepada Allah.
Tasawuf secara sederhana dapat diartikan sebagai usaha untuk mensucikan jiwa sesuci mungkin dalam usaha mendekatkan diri kepada Tuhan sehingga kehadiran-Nya senantiasa dirasakan secara sadar dalam kehidupan. Islam sekalipun mengajarkan tentang ketakwaan, qana’ah, keutamaan akhlak dan juga keadilan, tetapi sama sekali tidak pernah mengajarkan hidup kerahiban, pertapaan atau uzlah sebagaimana akrab dalam tradisi mistisisme agama-agama lainnya. Jadi, orientasi fundamental dalam perilaku sufistik generasi salaf adalah istiqamah menunaikan petunjuk agama dalam bingkai ittiba’, dan bukannya mencari karomah atau kelebihan-kelebihan supranatural.
IV.    SUMBER AJARANNYA
Di dalam al-Qur’an banyak ditemui ayat-ayat yang mendorong manusia memikirkan alam raya ini, dengan berpikir akan nampak keindahannya dan keindahan pencipta dan dengan demikian akan tumbuh rasa cinta yang mendalam terhadap pencipta. Di antaranya dalam firman Allah:
إن في خلق السموات والأرض واختلاف الليل والنهار لأيات لأولى الألباب
Artinya, “sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal ”(S. Ali Imran 190).

Demikian juga sekian banyak ayat yang memberikan contoh akhlak mulia dan akhlak yang buruk, melalui cerita umat-umat yang lampau, atau melalui larangan dan perintah. Demikian pula manusia selalu didorong beramal saleh dan mengendalikan nafsu keinginannya dan dalam kemampuan mengendalikan nafsu keinginan terletak keberuntungan hidup. Allah berfirman:

ونفس وما سواها فألهمها فجورها وتقواها قد أفلح من ذكاها وقد خاب من دساها
Artinya “Dan jiwa serta penyempurnaannya (penciptaannya). Maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu (jalan) kefasikan dan ketakwaannya. Sesungguhnya beruntunglah orang yang mensucikan jiwa itu. Dan sesungguhnya merugilah orang yang mengotorinya” (S. Asy-Syams 7-10)

Contoh kehidupan shufi banyak pula ditemui dalam kehidupan Rasulullah sehari-hari, yang penuh dengan penderitaan dan waktunya dihabiskan untuk beribadah dan berbakti kepada manusia. Sebelum ia diangkat menjadi Rasul, ia sering melakukan tahannus (khalwat) di gua Hira di Jabal Nur untuk memohon petunjuk. Usman bin Affan meskipun termasuk orang yang kaya yang mendapat kelapangan rezeki dari Allah, namun dalam kehidupannya sehari-hari juga sangat sederhana. Di kala ia berada di rumah, kitab suci al-Qur’an selalu di tangannya, pada malam hari ia selalu menelaah isi al-Qur’an dan kadang kala sampai larut malam dan ketika ia tewas dibunuh oleh para pemberontak al-Qur’an masih berada di tangannya. Karena itu, orang shufi berpendapat ada hal-hal yang perlu disembunyikan sebagai rahasia dalam ilmu tasawuf dan ajaran-ajaran yang seperti itu tidak boleh dibeberkan kepada orang lain kecuali kepada orang yang dianggap layak menerimanya. Mereka berlandaskan ucapan Abu Hurairah yang diriwayatkan oleh Bukhari yang katanya: “Aku peroleh dari Rasulullah dua bejana ilmu pengetahuan, satu di antaranya yang kusampaikan kepada orang lain, dan yang satu lagi tidak kusampaikan dan kalau kusampaikan juga niscaya leherku akan dipenggal”.

      V.  MUNCULNYA TASAWUF
Timbulnya tasawuf dalam islam tidak bisa dipisahkan dengan kelahiran islam itu sendiri, yaitu semenjak Muhammad diutus menjadi Rasul untuk segenap umat manusia dan alam semesta. Fakta sejarah menunjukan bahwa pribadi Muhammad sebelum diangkat menjadi Rasul telah berulang kali melakukan tahanuts dan khalawat di gua Hira’ disamping untuk mengasingkan diri dari masyarakat kota Mekkah yang sedang mabuk memperturutkan hawa nafsu keduniaan. Di sisi lain Muhammad juga berusaha mencari jalan untuk membersihkan hati dan mensucikan noda- noda yang menghinggapi masyarakat pada masa itu. Tahanuts dan khalawat yang dilakukan Muhammad SAW bertujuan untuk mencari ketenagan jiwa dan keberhasilan hati dalam menempuh liku- liku probelma kehidupan yang beraneka ragam , berusaha untuk memperoleh petunjuk dan hidayah serta mencari hakikat kebenaran , dalam situasi yang demikianlah Muhammad menerima Wahyu dari Allah SWT, yang berisi ajaran- ajaran dan peraturan- peraturan sebagai pedoman dalam mencapai kebahagiaan hidup didunia dan diakhirat.1
Dalam sejarah islam sebelum munculnya aliran tasawuf, terlebih dahulu muncul aliran zuhud pada akhir abad ke I (permulaan abad ke II). Pada abad I Hijriyah lahirlah Hasan Basri seorang zahid pertama yang termashur dalam sejarah tasawuf. Beliau lahir di Mekkah tahun 642 M, dan meninggal di Basrah tahun 728M. ajaran Hasan Basri yang pertama adalah Khauf dan Rajah’ mempertebal takut dan harap kepada Tuhan, setelah itu muncul guru- guru yang lain, yang dinamakan qari’ , mengadakan gerakan pembaharuan hidup kerohanian di kalangan umat muslim. Sebenarnya bibit tasawuf sudah ada sejak itu, garis- garis mengenai tariq atau jalan beribadah sudah kelihatan disusun, dalam ajaran- ajaran yang dikemukakan disana sini sudah mulai mengurangi makna (ju’), menjauhkan diri dari keramaian dunia ( zuhud ).
Abu al- Wafa menyimpulkan, bahwa zuhud islam pada abad I dan II Hijriyah mempunyai karakter sebagai berikut:
  1. Menjaukan diri dari dunia menuju akhirat yang berakar pada nas agama , yang dilator belakangi oleh sosipolitik, coraknya bersifat sederhana, praktis( belum berwujud dalam sistematika dan teori tertentu ), tujuanya untuk meningkatkan moral.
  2. Masih bersifat praktis, dan para pendirinya tidak menaruh perhatian untuk menyusun prinsip- prinsip teoritis atas kezuhudannya itu. Sementara sarana- saranapraktisnya adalah hidup dalam ketenangan dan kesederhanaan secara penuh, sedikit makan maupun minum, banyak beribadah dan mengingat Allah SWT. Dan berlebih- lebihan dalam merasa berdosa, tunduk mutlak kepada kehendak Nya., dan berserah diri kepada Nya. Dengan demikian tasawuf pada masa itu mengarah pada tujuan moral.
  3. Motif zuhudnya ialah rasa takut yaitu rasa takut, yaitu rasa takut yang muncul dari landasan amal keagamaan secara sungguh- sungguh. Sementara pada akhir abad II Hijriyah, ditangan Rabi’ah al- Adawiyah muncul motif rasa cinta, yang bebas dari rasa takut trhadap adhab- Nya maupun harapan terhadap pahala Nya. Hal ini dicerminkan lewat penyucian diri dan abstraksinya dalam hubungan antara manusia dengan Tuhan.
  4. Ahkir abad II Hijriyah, sebagian zahid, khususnyadi Khurasan, dan Rabi’ah al- Adawiyah ditandai kedalaman membuat analisa, yang bias dipandang sebagai masa pendahuluan tasawuf, atau cikal bakal para pendiri tasawuf falsafati abad ke- III dan IV Hijriyah. Abu al- Wafa lebih sependapat kalau mereka dinamakan zahid, qari’, dan nasik (bukan sufi) (Abu alo- Wafa, 1970). Sejalan dengan pemikiran ini, sebelum Abu al- Wafa, al- Qusyairi tidak memasukkan Hasan al- Basri dan Rabi’ah al-Adawiyyah dalam deretan guru tasawuf.2
Sedangkan zuhud menurut para ahli sejarah tasawuf adalah fase yang mendahului tasawuf. Menurut Harun Nasution, station yang terpenting bagi seorang calon sufi ialah zuhd yaitu keadaan meninggalkan dunia dan hidup kematerian. Sebelum menjadi sufi, seorang calon harus terlebih dahulu menjadi zahid. Sesudah menjadi zahid, barulah ia meningkat menjadi sufi. Dengan demikian tiap sufi ialah zahid, tetapi sebaliknya tidak setiap zahid merupakan sufi[1].
Secara etimologis, zuhud berarti raghaba ‘ansyai’in wa tarakahu, artinya tidak tertarik terhadap sesuatu dan meninggalkannya. Zahada fi al-dunya, berarti mengosongkan diri dari kesenangan dunia untuk ibadah[2].
Berbicara tentang arti zuhud secara terminologis menurut Prof. Dr. Amin Syukur, tidak bisa dilepaskan dari dua hal. Pertama, zuhud sebagai bagian yang tak terpisahkan dari tasawuf. Kedua, zuhud sebagai moral (akhlak) Islam dan gerakan protes[3]. Apabila tasawuf diartikan adanya kesadaran dan komunikasi langsung antara manusia dengan Tuhan sebagai perwujudan ihsan, maka zuhud merupakan suatu station (maqam) menuju tercapainya “perjumpaan” atau ma’rifat kepada-Nya. Dalam posisi ini menurut A. Mukti Ali, zuhud berarti menghindar dari berkehendak terhadap hal – hal yang bersifat duniawi atau ma siwa Allah. Berkaitan dengan ini al-Hakim Hasan menjelaskan bahwa zuhud adalah “berpaling dari dunia dan menghadapkan diri untuk beribadah melatih dan mendidik jiwa, dan memerangi kesenangannya dengan semedi (khalwat), berkelana, puasa, mengurangi makan dan memperbanyak dzikir”[4].
Jadi zuhud merupakan hal yang tidak bisa terpisahkan dengan tasawuf sebagai seorang zahid yang menjauhkan diri dari kelezatan duniaserta mengingkarinya serta lebih mengutamakan kehidupan yang kekal dengan mendekatkan diri untuk supaya tercapai keridhoan dan makrifat perjumpaan dengan-Nya. Hal ini agar lebih mendekatkan diri sebagai makhluk dengan Kholik sehingga dapat meraih keuntungan akhirat.
Kedua, zuhud sebagai moral (akhlak) Islam, dan gerakan protes yaitu sikap hidup yang seharusnya dilakukan oleh seorang muslim dalam menatap dunia fana ini. Dunia dipandang sebagai sarana ibadah dan untuk meraih keridlaan Allah swt., bukan tujuan tujuan hidup, dan di sadari bahwa mencintai dunia akan membawa sifat – sifat mazmumah (tercela). Keadaan seperti ini telah dicontohkan oleh Nabi dan para sahabatnya[5].
Zuhud disini mengandung makna tidak berbangga atas kemewahan dunia dan tidak membuat ingkar terhadap Allah SWT serta tetap berusaha bekerja. Hal ini hanyalah sebagai sarana ibadah meraih keridhoan-Nya, bukan sebagai tujuan akhir hidup.
Sifat zuhud inilah yang menjadi salah satu akibat suatu peristiwa dan lanjutan munculnya tasawuf, yaitu sebagai reaksi kaum muslimin terhadap sistem social politik dan ekonomi di kalangan islam sendiri. Ketika islam mulai tersebar ke berbagai penjuru dunia, setelah tempo sahabat (zaman tabiin abad ke I dan II) baik pada masa Kholifah maupun masa daulah-daulah setelahnya banyak terjadi pertikaian politik ataupun kemakmuran satu pihak, sudah mulai beubah kondisinya dari masa sebelumnya. Sehingga menimbulkan pula peperangan saudara antara Ali bin Abi Tholib dengan Mu’awiyah yang bermula fitnah pada Utsman bin Affan. Dengan adanya peristiwa tersebut membuat masyarakat dan ulama tidak ingin terlibat terhadap pergolakan yang ada serta tidak mau kemewahan dunia. Mereka lebih memilih untuk mengasingkan diri agar bisa mengembalikan kondisi lingkungan kehidupan islam seperti dahulu, yaitu seperti masa Nabi SAW, para sahabat serta para pengikutnya yang sesuai dengan berlandaskan Al-Qur’an dan Al-Hadist pada jalan yang benar menuju Rabb Yang Maha Esa.
Pada masa Bani Umayyah sistem pemerintahan berubah menjadi monarki sehingga bebas berbuat kezaliman (terlebih kepada lawan politiknya yaitu Syiah). Sampai terbunuhlah Husen bin Ali di Karbala dengan kekejaman Bani Umayah, sehingga penduduk Kufah menyesal mendukung pihak yang melawan Husein. Kemudian kelompok ini bernama Tawwabun yang dipimpin Mukhtar bin Ubaid as-Saqafi untuk membersihkan diri serta beribadah. Demikian pula dari segi social yang bermewah-mewahan jauh dari seperti zaman Nabi SAW. Kholifah Yazid yang dikenal pemabuk membuat kaum muslimin merasa berkewajiban menyeru hidup zuhud, sederhana, saleh dan tidak terjebak hawa nafsu seta kembali melirik pada kesederhanaan kehidupan Nabi SAW dan para sahabatbya. Saat itulah kehidupan zuhud menyebar luas di maaasyarakat pada abad-abad pertama dan kedua hijriyah dengan berbagai aliran, seperti :madinah, Bashrah, Kuffah, Mesir


    VI. KESIMPULAN
  1. Zaman Nabi SAW tidak ada tasawuf, akantetapi sikap perangainya serta dari para sahabat telah menunjukkan sifat tasawuf.
  2. Tasawuf muncul sebagai akibat dari ketidakselarasan kondisi social politik pada masa setelah sahabat yang jauh dari nilai-nilai seperti masa lalu untuk kembali ke jalan islam yang lurus dengan mendekatkan diri kepada-Nya.
  3. Lahirnya tasawuf didorong oleh beberapa faktor: (1) reaksi atas kecenderungan hidup hedonis yang mengumbar syahwat, (2) perkembangan teologi yang cenderung mengedepankan rasio dan kering dari aspek moral-spiritual, (3) katalisator yang sejuk dari realitas umat yang secara politis maupun teologis didominasi oleh nalar kekerasan, (4) perang politik yang saling mengorbankan satu dengan yang lain. Karena itu sebagian ulama memilih menarik diri dari pergulatan kepentingan yang mengatasnamakan agama dengan praktek-praktek yang berlumuran darah. Peri hidup Peri hidup Rasulullah dan sahabat-sahabatnya tidak didasarkan pada nilai-nilai material, nilai-nilai yang bersifat duniawi, misalnya mencari kekayaan pribadi, melainkan bertumpu pada nilai-nilai ibadah, mencari keridhaan Allah SWT. Akhlak mereka demikian tinggi, tunduk, patuh kepada Allah, tawadhu’ (merendah diri) dan sebagainya, bagaikan tanaman padi, kian berisi kian merunduk. Peri hidup Nabi dan para sahabatnya yang terpuji (akhlaqul karimah) tersebut antara lain:
  1. Hidup zuhud (tidak mementingkan keduniaan).
  2. Hidup qanaah (menerima apa adanya).
  3. Hidup taat (senantiasa menjalankan perintah Allah dan menjauhi larangan-Nya).
  4. Hidup istiqamah (tetap beribadah).
  5. Hidup mahabbah (sangat cinta kepada Allah dan Rasul-Nya, melebihi cinta kepada dirinya dan makhluk lainnya).
  6. Hidup ubudiah (mengabdikan diri kepada Allah).3
     DAFTAR PUSTAKA
Hasan, Abd-Hakim, al-Tasawuf fi Syi’r al-Arabi,Mesir,al-Anjalu al-Misriyyah,1954.
Munawir,Ahmad warson, al-Munawwir : Kamus Arab – Indonesia, PP. al-Munawwir,Yogyakarta, 1984.
Nasution, Harun, Prof. Dr., Falsafat dan Mistisme dalam Islam, Jakarta, Bulan Bintang,1995.
Syukur, Amin,Prof. Dr., Menggugat Tasawuf,Yogyakarta,Pustaka Pelajar, 2002.
Khoiri, Alwan.Dr.M.A., Damami.Moh.Drs.M.A.g., dkk., Akhlak Tasawuf, Yogyakarta, Pokja Akademik UIN Sunan Kalijaga, 2005.


1 Proyek pembinaan Perguruan Tinggi Agama, Institute Agama Islam Negeri Sumatra Utara , Pengantar Ilmu Tasawuf, 1981/ 1982, hal. 35- 36
2 Prof.Dr. HM. Amin Syakur, MA. Menggugat Tasawuf, Cet.I,Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1999, hal. 28- 32.
3 Pokja Akademik UIN Sunan Kalijaga. Akhlak Tasawuf. Yogyakarta: 2005, hal 35- 36.

1 komentar: