Minggu, 18 September 2011

Pemikiran Nahwu Mesir Ibnu al_Hajib


BAB I
PENDAHULUAN
Aktivitas keilmuan khususnya disiplin ilmu nahwu di Mesir telah muncul dan berkembang sejak masa-masa awal muncul dan berkembangnya nahwu secara umum. Diantara sekian banyak faktor yang mendorong nahwu tetap ada dan eksis dipelajari di mesir, karena keinginan untuk tetap menjaga kemurnian al_Qur’an dan bacaannya. Terutama dari segi gramatikanya.
Pada masa awal, terdapat seorang pengikut Abul Aswad yang mengajar disana, yaitu Abdurrahman bin Hurmuz (w. 117 H). Beliau inilah yang memberikan tanda titik pada mushaf Al-Quran sebagai tanda I’rab. Beliau juga guru salah seorang dari qurra’ bacaan Al-Quran yang tujuh, yaitu Imam Nafi’ bin Abi Nu’aim di Madinah. Bacaan cara Nafi’ ini kemudian berkembang di Mesir berkat muridnya, yaitu Warasy, seorang penduduk asli Mesir yang bernama lengkap ‘Utsman bin Sa’id.
Nahwu aliran Mesir secara khusus mulai menampakkan eksistensinya dengan hadirnya Wallad bin Muhammad At-Tamimi, yang berasal dari Basrah tetapi tumbuh di Fusthath Mesir. Beliau berguru kepada Al-Khalil bin Ahmad di Iraq dan menulis buku hasil pembelajarannya bersama sang guru. Salah satu tokoh yang sezaman dengan Wallad ini adalah Abul Hasan Al-A’azz  yang belajar nahwu kepada Al-Kisa’i. Dari adanya dua tokoh inilah mulai muncul aliran baru paduan antara kedua aliran yang telah ada, yaitu Kufah dan Basrah. Dua tokoh inilah generasi pertama Nahwu Mesir.
Generasi kedua Nahwu Mesir ditandai dengan munculnya Ad-Dinauri (w. 289 H). Beliau adalah Ahmad bin Ja’far, yang melakukan perjalanan ke Basrah untuk menuntut ilmu. Beliau belajar Al-Kitab milik Sibawaih dari Al-Mazini, kemudian ke Baghdad belajar kepada Tsa’lab, lalu pindah belajar kepada Al-Mubarrad.  Setelah itu, beliau kembali ke Mesir dan mengajar Nahwu di sana dan menulis sebuah buku berjudul Al-Muhadzdzab yang beliau peruntukkan bagi para muridnya di sana.
Lalu generasi berikutnya adalah Ali bin Husain Al-Hunna’i (w. 320 H), dan Abul ‘Abbas Ahmad bin Muhammad bin Wallad At-Tamimi (w. 332 H). Ali bin Husain adalah penulis Al-Mundhad. Beliau adalah salah seorang tokoh yang memadukan dua pandangan aliran nahwu yaitu aliran Basrah dan Kufah. Beliau  dijuluki sebagai Kura’un Namli yang berarti kaki semut karena fisiknya yang pendek. Dan masih banyak tokoh-tokoh nahwu lain di bumi para nabi ini yang tidak mungkin penulis cantumkan dalam makalah ini. Kerena begitu menjamurnya ulama-ulama nahwu yang bermunculan pada masa ini.

BAB II
PEMBAHASAN
A.     Profil Ibnu al_Hajib
Nama lengkap beliau adalah Jamaluddin Utsman bin Umar bin Abi Bakr. Beliau di Esna wilayah Mesir bagian hulu pada tahun 570 H. Dan kemudian beliau tumbuh dikairo. Ayah beliau adalah seorang pelayan Raja Izzuddin as _Sholahi pada masa itu.
Dari segi akedemisnya Ibnu al_Hajib menekuni dan mendalami beberapa bidang keilmuan[1]. Dan yang paling menonjol adalah Ilmu Fikih yang bermazhab Maliky, Ilmu Ushul, dan Ilmu Nahwu. Setelah banyak menimba ilmu di negeri sendiri maka beliau pergi ke Damaskus untuk menimba ilmu sekaligus mengajar di sana.
Banyak murid-murid beliau yang mempelajari berbagai macam ilmu dari beliau. Setelah beberapa tahun Ibnu al_Hajib pun kembali ke Kairo dan mengajar Ilmu Nahwu di Madrasah al_Fadhiliyyah Kairo. Setelah puas di Kairo dia pun pindah dan menetap di Alexandria. Dan disinilah beliau dipanggil oleh sang Khaliq pada tahun 646 H.
Ibnu al_Hajib telah banyak mengarang tentang Ilmu Fikih Maliky, Ilmu Ushul, dan Ilmu ‘Arudh dan karangannya populer adalah Kitab al_Kafiyah dan Kitab as_Syafiyah, yang masing-masingnya membahas tentang gramatika bahasa arab dan morfologinya.

B.     Pemikiran-pemikiran Ibnu al_Hajib
Ibnu al_Hajib memiliki banyak pemikiran yang sebagian di terima dan disepakati oleh Ulama-ulama Nahwu dan sering pula bertentangan dengan pendapat-pendapat ulama Nahwu lainnya.
Diantara sekian banyak pendapatnya, beliau menyatakan bahwa I’rab itu adalah lafzy bukan maknawiy. Kemudian beliau beranggapan bahwa isim (sebelum penyusunannya dalam sighah dan ibarat) adalah mabniy. Lalu tentang dua isim isyarah ذان  dan تان  keduanya adalah isim isyarah yang ditempatkan atau diposisikan untuk mutsanna. Akan tetapi, keduanya bukanlah bentuk mutsanna yang sebenarnya, mengapa? Karena ذان  tersebut merupakan sighah (bentuk) dalam posisi rafa’, dan dapat berubah menjadi ذين yang merupakan bentuknya yang lain yang berposisi nashab dan jar begitu pual dengan تان .
Sebagian besar ulama Nahwu berpendapat bahwa kalimat seperti غلامي adalah mabniy karena diidhofahkan kepada dhomir mabniy, tapi Ibnu al_Hajib berpendapat lain menurut beliau bahwa kalimat غلامي berkedudukan sebagai mu’rab muqaddar dengan acuan beliau kepada kalimat مكغلامه وغلا.
Kemudian pendapat beliau tentang lam ibtida’. Beliau sependapat dengan Imam Zamkhosyari bahwa lam yang terdapat pada mubtada’itu menjadi satu menjadi lam ibtida’ contoh لزيد قائم dan لقائم زيد , adapun selain dari posisi tersebut beliau berpendapat bahwa lamnya adalah lam muaakkdah contoh إن محمدا لقائم .
Ibnu al_Hajib juga sependapat dengan beberapa pendapat ulama nahwu Kuffah yang mana siafat nahwu Kuffah adalah lebih fleksibel, luntur dan mengadopsi bahasa-bahasa kelompok atau individu-individu tertentu sebagai acuan toeri mereka. Dan ini lebih bersifat deskriptif dalam teori-teori atau pun pembahasannya[2].
Sebagian pendapat Ibnu al_Hajib yang mengamini mazhab Kuffah adalah jika lafadz لو kemudian diikuti oleh lafadz  ن المأكدةأ  maka i’rabnya dan yang setelahnya adalah fail ditakdirkan dengan ثبت . Selain itu, pendapat beliau lainnya adalah bahwa lafadz إلا  tidaklah bersifat seperti غير kecuali jika didahului oleh جمع منكر غير محصور contohnya adalah   :
 لو كان فيهما ألهة لفسدتا   berlawanan dengan contoh lainnya yaitu  له علي عشرة إلا درهما  yang mana posisi إلا disini adalah sebagai huruf istisna’ saja.


BAB III
PENUTUP
Pertumbuhan dan perkembanagan Nahwu mesir adalah fakta sejarah yang memiliki kontribusi nyata dalam perkembangan studi Islam terutama dalam gramtika bahasa arab serta morfologinya. Tentunya ini tidak terlepas dari peranan serta kontribusi dari tokoh-tokoh yang konsisten dalam mendalami dan mengembangkan nahwu sebagai pengetahuan yang telah merambah ke ranah epistemologi keilmuan. Ibnu al_Hajib adalah satu dari sekian banyak tokoh yang ikut andil dalam memainkan peranan itu. Pemikiran-pemikirannya merupakan kontribusi bersar yang dimiliki oleh Mazhab Nahwu Mesir. Banyak pendapat beliau yang jika diteliti  secara keseluruhan dan eksplisit makalah tidaklah cukup untuk membahasnya.
Akhirnya, segala hal yang penulis paparkan dalam makalah yang sederhana dapat memberikan manfaat dan kontribusi dalam studi tokoh bahasa arab. Apabila ada kesalahan dan kekurangan dalam pemaparan ataupun penulisan makalah ini. Penulis sangat mengharpkan kritik dan saran yang membangun. 
   

DAFTAR PUSTAKA
 
Dhayf, Syauqi. Al_Madaris an_Nahwiyyah. 1976. Darul Ma’arif. Kairo. Mesir
Afandi, zamzam. Jurnal Adabiyyat. Ibnu Jinni :Menembus sekat mazhab Liguistik. (memadukan aspek logis dan sosiologis). Vol. 8. NO. 1, Juni 2009
Zamzamafandi blogspot.com. diakses pada tanggal 9 Januari 2010
irfanantono.wordpress.com. diakses pada tanggal 9 Januari 2010


[1] Penulis tidak menemukan secara spesifik tentang guru-guru Ibnu al_Hajib dalam kitab rujukan utama al_Madaris an_Nahwiyyah.
[2] Zamzam afandi, Jurnal Adabiyyat BSA, Th: 2009, vol 8, No 1, hal 52.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar